LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Book Review (Chapter
1) of The Rise of Colleges: Institutions of
Learning in Islam and The West by George Makdisi
Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial
Pendidikan Islam
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Fakhriyatus Shofa Alawiyah
NIM. 084 9315 003
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Miftah
Arifin, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(PPs IAIN)
JEMBER
Oktober, 2015
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................
i
DAFTAR
ISI.............................................................................................. ii
PENDAHULUAN.....................................................................................
1
ISI
BUKU...................................................................................................
2
BAB I: Lembaga-Lembaga..........................................................................
2
1.
Munculnya
Madzhab-Madzhab.................................................
2
2.
Tipologi
Lembaga-Lembaga Pendidikan...................................
7
DISKUSI
DAN ANALISIS......................................................................
7
BAB I: Lembaga-Lembaga..........................................................................
7
1.
Munculnya
Madzhab-Madzhab.................................................
7
2.
Tipologi
Lembaga-Lembaga Pendidikan...................................
9
PENUTUP..................................................................................................
24
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................
25
Judul : The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and The West
Penulis : George Makdisi
Kota Terbit : Edinburgh
Penerbit : Edinburgh University Press
Tahun Terbit : 1981
A.
Pendahuluan
The Rise of
Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West adalah sebuah
buku berbahasa Inggris yang ditulis oleh George Makdisi, diterbitkan oleh
Edinburgh University Press di Edinburgh pada tahun 1981. Dengan tebal kurang
lebih 377 halaman beserta lampirannya, buku ini merupakan hasil dari penelitian
dari Makdisi dengan tujuan mencapai pemahaman lebih baik terhadap periode
penting dalam sejarah Islam. Gerakan intelektual menjadi lebih jelas jika
dipelajari dengan referensi yang dekat dengan kemampuan-kemampuan yang
dihasilkan mereka. Bentuk dan isi dari kerja intelektual dapat dipahami melalui
pengkajian, pengajaran, penelitian dan komposisi dari perjalanan sejarah yang
dimaksud. Hal tersebut seperti yang makdisi paparkan dalam kata pengantar:
“This study was undertaken in order
to achieve a better understanding of apivotal period in Islamic history. Intellectualmovements
become more intelligible when studied in close reference to the forces which
produced them. The form and content of intellectual works are intelligible in
the extent to which the methods of instruction, study and composition are
understood in their essential details”.
Jadi buku ini
merupakan hasil karya penelitian yang kredibel dan valid, yang kemudian
dideskripsikan menjadi perjalanan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam. Pada
bab satu khususnya tentang Kelembagaan (institution) yaitu terdiri dari
tiga persoalan yaitu tentang: (1) munculnya madzhab-madzhab, (2)
tipologi lembaga pendidikan, dan (3) hukum perwakafan. Persoalan pertama
membahas tentang berbagai madzhab
yang muncul pada periode awal yang sebenarnya banyak didominasi oleh individual
madzhab, namun dalam perkembangannya
mereka menjadi aliran madzhab yang
mengikuti personal madzhab tertentu
yang hanya terdiri dari empat madzhab
besar, yaitu madzhab Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Sedangkan persoalan kedua membahas
tentang tipologi institusi pendidikan. Makdisi membagi lembaga pendidikan dalam
dunia Islam menjadi dua, yaitu: (1) lembaga sebelum munculnya madrasah dan (2)
lembaga madrasah itu sendiri. Dia cenderung menganggap bahwa madrasah merupakan
tonggak bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia
Islam. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang termasuk pada kategori pertama
yaitu lembaga yang munculnya sebelum munculnya madrasah diantaranya adalah
lembaga yang didalamnya tidak diajarkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences)
seperti majelis-majelis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab,
kuttab dan lembaga-lembaga sufi seperti zawiyah, ar-ribath,
khan. Sedangkan lembaga yang memasukkan ilmu-ilmu umum diantaranya
adalah perpustakaan dan rumah sakit.
Dalam kesempatan
ini penulis akan mengulas tentang bab satu khususnya pada persoalan yang
pertama dan kedua saja. Sekiranya dapat bermanfaat bagi kita selain tambahan
referensi bahasa asing juga pengetahuan tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam
khususnya pada masa Islam klasik.
B.
Isi Buku
Adapun isi BAB
I dari buku karya George Makdisi yang berjudul “The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam and The West” adalah sebagaimana berikut:
BAB I : Kelembagaan atau
Lembaga-Lembaga
1.
Munculnya Madzhab-Madzhab
Bab ini membahas tentang ‘munculnya Madzhab’. Yang memiliki enam sub-bab,
yaitu:
a.
Madzhab dan Madrasah
Sebagaimana diulas sedikit pada pendahuluan
diatas, dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah yang hampir sama akan tetapi
maknanya berbeda. yaitu ‘school of law’ dan ‘college of law’.
Pada istilah ‘school of law’, kata ‘school’ bukan berarti
‘sekolah’ akan tetapi lebih mengarah pada ‘sect’ atau dalam bahasa
Indonesia berarti sekte. Dapat juga bermakna ‘rite’ atau upacara. Sedangkan
arti ‘college of law’ mengarah pada lembaga, bangunan tempat
pembelajaran. Istilah ‘school of law’ yang berarti madzhab menunjuk pada dua hal: 1) kelompok jurisconsult
(faqih-multi) yang berhubungan karena berasal dari satu daerah (geographical
schools) 2) kelompok jurisconsult (faqih-multi) yang
mengikuti salah satu tokoh ternama.
b.
Madzhab sebagai
Sistem yang Individual
Sebagai sistem yang individual, madzhab tidaklah bergantung pada sebuah
komite atau organisasi. Para fuqaha
sendirilah yang bekerja untuk melakukan ijtihad dengan berdasarkan hadis
Nabi.
c.
Munculnya Empat Madzhab
Joseph Schacht telah menuliskan tentang madzhab klasik seperti Kufian, Medinian,
Syria. Kemudian pada permulaan abad 8 M, kelompok atau golongan yang berdiri
sendiri dengan Imam mereka seperti Imam Abu Hanifah di Kuffah, Imam Malik di
Madinah, al-Auza’i di Syria. Baru kemudian pada pertengahan abad 3 H/9 M, madzhab-madzhab ini berubah menjadi madzhab
yang berdiri sendiri.
Sekitar lima ratus madzhab lenyap pada awal abad 3 H/9 M, sampai empat madzhab Sunni yang tersisa sampai
sekarang. Keempat madzhab yang
berdiri sendiri itu adalah diantaranya adalah Abu Hanifah (w.150 H/767 M),
Malik (w. 179 H/795 M), Syafi’i (w. 204 H/820 M), Ibnu Hanbal (w. 241 H/855 M)
yang kemudian nama mereka diabadikan menjadi nama madzhab itu sendiri (eponim), Madzhab
Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki. Sedangkan dua madzhab
lainnya yang tidak eksis diantaranya adalah al-Auza’i (w. 157 H/774 M) dan
Sufyan ath-Thauri (w.161 H/778 M), keduanya dari Syria.
d.
Hubungan antara Madzhab dan Ilmu Kalam
Sebagaimana beberapa sumber sejarah, madzhab diklasifikasikan sesuai istilah
yang diterapkan pada teologi/ilmu kalam. Mereka diklasifikasikan menjadi dua
yaitu kaum tradisionalis, istilah bagi ahli hadis dan kaum rasionalis disebut ahlu
ra’yi/ashab ar-ra’yi atau istilah lain lagi yaitu ahl an-nazar
dan ahl al-qiyas.
Ibnu Qutaiba menyebutkan bahwa Ahmad bin
Hanbal adalah rasionalis atau ahlu ra’yi.
Sedangkan al-Maqdisi menyebutkan bahwa pengikut Ahmad bin Hanbal seperti
al-Auza’i, Ibnu Mundir, Ishaq bin Rahawih adalah ahlu hadis. Shahrastani mengklasifikasikan Malik, Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal dan Dawud bin Khalaf sebagai ashab al-hadis, dan hanya madzhab Abu Hanifa sebagai ahlu ra’yi. Ibnu an-nadim dan
al-maqdisi mengklasifikasikan Hanbali, Auza’i dan Thauris sebagai madzhab yang tradisionalis (ashab
al-hadis). Subki menyebutkan bahwa madzhab
fiqih pada awal abad ke-4 H/10 M adalah Syafi’i, Maliki, Thauri, Hanafi, dan Dawudi.
Di sisi lain al-Maqdisi menyebutkan pada
akhir abad tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Dawudi.
e.
Beberapa alasan/jawaban dan
Kekurangan Mereka
Alasan telah diberikan sebagai penjelasan
mengapa beberapa madzhab dapat hidup
lama selama yang lainnya lenyap. Menurut Snouck Hourgrounje Beberapa alasan
yang diberikan mengapa madzhab empat
masih eksis hingga masa sekarang sedangkan banyak madzhab lain yang sudah lenyap atau tidak eksis lagi adalah faktor
geografi dan eksistensi imam dari madzhab
itu sendiri. Joseph Schacht juga mengatakan hal yang sama. Snouck menyebutkan
bahwa kira-kira pada tahun 500 H/1106 M adalah waktu munculnya empat madzhab Sunni. Sedangkan Schacht menyebutkan
pada tahun 700 H/1300 M sebagai munculnya empat madzhab dan ditutupnya ‘pintu’ ijtihad. Akan tetapi ini
tidak bisa dijadikan pegangan, karena kita tidak mengetahui pasti waktu kapan
semua madzhab itu lenyap hingga hanya
empat madzhab saja yang bertahan.
f.
Kunci untuk Memahami Permasalahan Madzhab
Menurut Makdisi, kunci untuk memahami
fenomena/permasalahan madzhab dalam
Islam adalah untuk menemukan pengaruh hukum dan tradisionalisme. Hal itu dapat
ditemukan dalam perebutan/perjuangan antara tradisionalisme dan rasionalisme,
poin penting dari perebutan/perjuangan itu adalah Great Inquisition, Mihna.
Selain itu, hal tersebut dapat ditemukan di Baghdad sebagai pusat budaya Muslim
dunia.
2.
Tipologi
Lembaga-Lembaga Pendidikan
a.
Lembaga-Lembaga sebelum Madrasah
1)
Lembaga-Lembaga Tertutup
(Eksklusif) terhadap pengetahuan umum.
a)
Majelis
Istilah ‘majelis’ berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘jalasa’
yang artinya duduk dan merupakan isim
makan (keterangan tempat) yang artinya tempat duduk. Ada dua macam majelis,
yaitu majelis an-nazar dan majelis ‘ilm yang berarti tempat
pertemuan para sarjana untuk berdiskusi. Selain itu terdapat istilah majelis
hukum, majelis al-wa’z, majelis at-tadris, majelis
ash-shu’ara’, majelis al-adab, majelis al-fatwa, majelis
al-fatwa wa an-nazar, majelis at-tadris wa al-fatwa.
b)
Jami’ dan Halaqah
Jami’ sebagai sebuah lembaga pendidikan pada masa
klasik adalah sebuah lembaga yang mempunyai halaqah-halaqah,
belajar-melingkar, yang mana ilmu-ilmu keislaman diajarkan. Antara Jami’
di Damaskus dan Kairo berbeda.
Di jami’, guru memegang peranan penting dalam halaqah. Pelajaran
yang diajarkan dalam halaqah biasanya dijadikan nama dari halaqah
itu sendiri. Misalkan halaqah an-nahwiyin, halaqah yang
didalamnya mempelajari tata bahasa/nahwu, halaqah ahlu al-hadis adalah halaqah
bagi sarjana-sarjana hadis, halaqah al-Baramika adalah halaqah
orang-orang Barmakid.
c)
Maktab dan Kuttab
Maktab dan Kuttab adalah lembaga pendidikan
untuk pendidikan dasar. Menurut ‘Abd al-Ghafir al-Farisi perbedaan antara maktab
dan kuttab adalah jika maktab merupakan tempat belajar anak dari umur
lima tahun dan kuttab merupakan tempat belajar anak umur sepuluh tahun.
Mata pelajaran yang diajarkan berupa al-Quran, khat, kaligrafi, i’tiqad,
dan syair.
d)
Masjid
Masjid sudah
eksis atau ada sejak masa awal Islam.
e)
Khan
Khan memiliki
banyak arti, jika di kota maka khan
merupakan sebutan untuk sebuah hotel atau penginapan. Jika di jalan adalah
sebagai tepi jalan penginapan, begitu juga di gurun pasir. Bisa juga diartikan
sebagai tempat barang (warehouse) atau pusat komersil dengan banyak
pertokoan. Seperti khan al-Narsi yang
terletak di alun-alun Karkh, Baghdad bagian barat. Selain itu khan juga berfungsi sebagai asrama untuk
murid dari luar kota.
2)
Lembaga-Lembaga Terbuka (Inklusif)
terhadap pengetahuan umum
a)
Perpustakaan
Ada enam kata dalam bahasa Arab yang mengacu pada istilah
perpustakaan ini, yaitu tiga kata yang menunjukkan tempat: bait (rumah),
khizanah (lemari), dan Dar (rumah), dan tiga kata yang
menunjukkan konten/isi: hikmah, ‘ilmu, dan kutub
(buku-buku). Dari kombinasi kedua istilah itu nantinya akan tercipta istilah
perpustakaan: bai al-hikmah, khizanat al-hikmah, dar al-hikmah,
dar al-‘ilmi, dar al-kutub, khizanah al-kutub, dan bait
al-kutub, bait al-‘ilmi, dan khizanah al-‘ilmiy.
b)
Rumah Sakit
Selain diketahui sebagai rumah sakit, maristan juga merupakan
sekolah obat.
b.
Madrasah dan Lembaga Yang Asalnya
Sama (Cognate Institutions)
Makdisi menyebutkan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi
pendidikan Islam dari masjid ke madrasah yang terjadi secara tidak langsung,
dan diantaranya melalui tiga tahap: (1) tahap masjid, berlangsung terutama pada
abad-abad ke-8 M dan ke-9 M. Selain dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah
pada masa itu masjid juga sudah dimanfaatkan sebagai tempat majelis ta’lim
dan Baghdad salah satu pusatnya. (2) tahap masjid khan, yaitu suatu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan atau sejenis pemondokan/asrama yang
letaknya berdampingan dengan masjid tersebut. Pemondokan/asrama itu memang dipersiapkan
untuk para penuntut ilmu yang datang dari berbagai kota. Tahap ini berlangsung
pada abad ke-10 M. (3) tahap madrasah. Dengan dipelopori berdirinya madrasah
Nizham al-Mulk di Baghdad maka madrasah sudah mencapai pola yang utuh.
Makdisi lebih
lanjut menjelaskan bahwa ketiga (tahap) lembaga diatas berkembang secara alami,
pada abad ke 2 H/8 M atau lebih awal lagi masjid telah menjadi lembaga
pendidikan tinggi (college), yang menyediakan gaji untuk para staf dan
biaya pendidikan bagi para murid yaitu masjid khan. Masjid khan
mengambil satu langkah lebih maju dengan menyediakan makanan bahkan tempat
menginap untuk mereka yang menuntut ilmu, akhirnya pada tahap madrasah, tempat
yang menyediakan seluruh kebutuhan belajar muridnya.
1)
Madrasah
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang sangat
menonjol atau “par excellence”.
2)
Lembaga Yang Asalnya Sama (Cognate
Institutions)
Lembaga pendidikan yang paling dasar dan
berjasa adalah masjid.
C.
Diskusi dan
Analisis
Berdasarkan isi buku karya Makdisi diatas,
berikut penulis paparkan hasil ‘diskusi’ dengan berbagai referensi terkait
serta analisis penulis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam bab
pertama buku ini mencakup tiga persoalan, berikut ini akan dipaparkan dua
persoalan diantaranya:
1.
Munculnya Madzhab
Menurut
bahasa, madzhab berasal dari shigat
mashdar mimy dan isim makan yang diambil dari fi’il madhi ‘dzahaba’ yang
berarti pergi.
Sedangkan menurut kamus kontemporer kata “madzhab”
berarti aliran/doktrin/ajaran.
Sedangkan menurut istilah merupakan metode dan hukum-hukum tentang berbagai
masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh Imam mujtahid.
Pertentangan
antara tradisionalisme Islam dengan rasionalisme Islam yang semakin berkembang
karena adanya pengaruh pemikiran Yunanian (Hellenistik), serta persaingan
ideologis antara paham Sunni dengan paham Syi’ah merupakan hal utama yang
melatarbelakangi kemunculan dua kelembagaan (yaitu madzhab dan madrasah) yang kemudian nantinya mencapai kemapanan
dengan terlebih dahulu melalui proses panjang. proses ini berjalan secara
bertahap dengan alur perkembangan: (a) terbentuknya madzhab-madzhab pada
pertengahan abad ke-2 H, (b) bermunculannya masjid-masjid yang dimanfaatkan
untuk kajian hukum pada abad ke III dan IV H, (c) tersebarnya
institusi-institusi konservatif lain yang mendukung seperti dar al-hadis pada
abad ke-6 H.
Huzaemah mengelompokkan
madzhab-madzhab fiqih menjadi empat:
a.
Ahl sunnah wal jama’ah, terdiri
dari ahlu ra’yi yaitu madzhab Hanafi dan ahlu hadis yaitu Imam madzhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Ini termasuk ke dalam madzhab yang eksis sampai sekarang.
1)
Madzhab Hanafi, yaitu
madzhab yang dinisbahkan kepada
Imamnya, yaitu Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin tsabit. Beliau lahir di Kuffah,
tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab
ini disebut juga dengan madzhab ahl
ar-ra’yi pada masa tabi’ut tabi’in. madzhab
ini sebenarnya merupakan kumpulan pendapat imam Abu Hanifah sendiri beserta
para muridnya serta para penggantinya sebagai bentuk perluasan pemikiran yang
telah digariskan oleh mereka yang merupakan bentuk ijtihad. Adapun Imam
Abu Hanifah berguru pada hammad bin Abu Sulaiman dalam bidang fiqih, selain itu
juga kepada Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ maula Ibnu Umar. Dasar-dasar madzhab Hanafi ada tujuh pokok, yaitu
al-Qur’an, as-Sunnah, Qoul as-shahabi, qiyas, istihsan, ijma’ dan
‘Urf.
2)
Madzhab Maliki, yaitu
kumpulan pendapat-pendapat dari Imam Malik beserta para pengikutnya. Nama
lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik. Lahir di Madinah pada
tahun 90 H dan wafat pada tahun 179 H. Guru-guru beliau adalah ulama Madinah,
diantaranya adalah Abdur Rahman bin Hurmuz, Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu
Syihab Az-Zuhri. dalam bidang fiqih beliau berguru pada Rabi’ah bin Abdur
rahman.
3)
Madzhab Syafi’i yaitu
madzhab Imam Abdillah bin Idris bin
Syafi’i, lahir di Gaza pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Guru
pertama beliau adalah Muslim bin Khalid. Madzhab
ini terdiri dari dua macam berdasarkan masa dan tempat beliau mukim, yaitu qaul
qadim yaitu madzhab yang dibentuk
sewaktu beliau hidup di Irak, dan qaul Jadid yaitu madzhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir (pindah dari
Irak). Beliau merupakan ‘peletak batu pertama’ ushul fiqih dengan karangannya
“ar-Risalah”. Dan kitab induknya yang menjadi pedoman madzhabnya adalah kitab ‘al-Umm’.
4)
Madzhab Hanbali,
adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal,
lahir di Marwaz pada tahun 164 H, dan wafat pada tahun 241 H.
b.
Syiah, ada syiah zaidiyah dan
imamiyah
c.
Khawarij
d.
Madzhab-madzhab yang telah musnah/lenyap.
Madzhab-madzhab yang lenyap diantaranya adalah madzhab al-Auza’i, al-Zahiri,
at-Thabari, al-Laitsi.
Dalam sejarah
Islam tidak dapat dipastikan berapa jumlah madzhab
yang pernah ada sebelum empat madzhab
itu eksis sampai hari ini. Jika Makdisi menyebutkan ada sekitar lima ratus
individual madzhab yang lenyap pada
awal abad ke 3 H/9 M.
Pada masa tabi’in
(diperkirakan muncul pada masa bani Umayyah dan berakhir pada abad ke 2 H)
merupakan periode transisi antara sahabat dengan timbulnya imam-imam madzhab
(baik dari kalangan Sunni ataupun Syi’ah). Pada periode ini dikenal dengan dua
kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam. Pertama, Rasionalisme,
kelompok/golongan/aliran rasio atau dikenal dengan sebutan ahlu ra’yi
yang mana dalam menetapkan hukum suatu masalah lebih mengedepankan penalaran/ra’yu
(menggunakan metode ijtihad). Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum
syariat itu tergolong ta’aqquli (bisa dipahami secara akal) yang inti
dari penetapan syariat itu adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, jadi
penggunaan ra’yu dapat dibenarkan jika tujuannya adalah kemaslahatan. Kelompok
ini banyak muncul di Bashrah dan Kufah. Diantara madzhab empat yang termasuk ahl
ra’yi adalah Imam Hanafi.
Kedua, tradisionalisme
atau ahlu hadis, aliran atau golongan yang bersifat ketat ketika
menetapkan suatu hukum masalah dengan lebih mengedepankan hadis daripada
penalaran/rasio. Kelompok ini tidak mau bersusah payah encari ‘illat
hukum dari penetapan syariat, karena mereka lebih mengandalkan hafalan hadis
dan fatwa sahabat sebagai rujukan untuk memahami nash-nash hukum. Bukan
erarti mereka tidak mau menggunakan rasio, mereka mau menggunakan jika sudah
mendesak dan sangat terpaksa sekali. Diantara madzhab empat yang termasuk ahl
hadis adalah Imam Maliki, Imam hanbali, az-Zahiri. Sedangkan madzhab
Syafi’i mengambil jalan tengah diantara kedua aliran yang berbeda itu. Hal ini
dikarenakan beliau belajar pada tokoh-tokoh kedua aliran itu (baca: Imam Hanafi
dan Imam Maliki).
Selanjutnya pada persoalan kedua dalam bab
satu buku ini dijelaskan tipologi lembaga-lembaga pendidikan.
2.
Tipologi
Lembaga-Lembaga Pendidikan
Lembaga
pendidikan merupakan bagian dari lingkungan pendidikan sebagai wadah atau
tempat berlangsungnya pendidikan. Dalam buku Hasbullah yang berjudul
‘Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan’
banyak dipaparkan pengertian lembaga pendidikan menurut ahli. Diantaranya
adalah Ki Hajar Dewantara
yang terkenal dengan ‘Tri Pusat Pendidikan’ nya, beliau membagi lembaga
pendidikan menjadi tiga, pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan
masyarakat.
Ketika menjelaskan tentang jenis ragam lembaga pendidikan Islam,
George Makdisi membagi lembaga pendidikan dalam Islam menjadi dua yaitu lembaga
pendidikan sebelum madrasah dan madrasah. Kemudian Makdisi membagi
lembaga-lembaga sebelum madrasa (pra-madrasah) menjadi dua yaitu lembaga
eksklusif (tertutup) dan lembaga inklusif (terbuka).
Sebagaimana disebutkan oleh Zuhairini bahwa dalam dunia Islam
sebelum timbulnya sekolah ataupun universitas yang kemudian nantinya dikenal
sebagai lembaga formal, telah ada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
bersifat non-formal.
Hal ini juga senada
dengan Abuddin Nata yang juga menyebutkan bahwa lembaga pendidikan Islam di
masa klasik dibagi menjadi dua, eksklusif dan inklusif.
a.
Lembaga
Eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum
Pada lembaga-lembaga berikut ini tidak
diajarkan pengetahuan umum, atau dengan kata lain fokus pada pengetahuan
keagamaan saja. Adapun lembaga yang tertutup terhadap pengetahuan umum itu terdiri
dari:
1)
Majelis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
majelis berarti kumpulan orang banyak.
Zuhairini dalam bukunya mengartikan majelis
dengan saloon kesusasteraan, artinya suatu majelis khusus yang didirikan oleh
khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Sudah ada sejak masa
khulafaur rasyidin yang memusatkan kegiatan di masjid sebagai tempat musyawarah
dan tempat diskusi untuk memecahkan persoalan keagamaan. Baru kemudian pada
masa dinasti Umayyah, tempat majelis dipindahkan ke istana, dan tak sembarang
orang yang dapat masuk kesana. Pada masa Dinasti Abbasiyah majelis kesusastraan
ini mendapat perhatian lebih karena memang pada masa ini, umumnya para khalifah
mencintai ilmu pengetahuan.
Dengan redaksi berbeda Suwito mengatakan bahwa
majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk transmisi keilmuan
dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya
sebagaimana ragam yang disebutkan Makdisi yang telah penulis sebutkan pada ‘sub-bab
isi buku’ diatas. Dalam Abuddin Nata juga disebutkan jenis-jenis majelis:
a)
majlis al-hadis, biasanya
diselenggarakan oleh guru ahli hadis.
b)
majlis at-tadris, menunjuk
pada majelis selain hadis, seperti fiqih, nahwu, kalam.
c)
majlis al-munazharah, biasanya
dipergunakan sebagai sarana untuk perdebatan mengenai suatu masalah oleh para
ulama.
d)
majlis al-muzakarah, merupakan
inovasi dari murid-murid yang belajar hadis, kemudian berkembang dan dibedakan
berdasarkan materi yang didiskusikan yaitu meliputi sanad hadis, materi, perawi,
korelasi hadis dengan bidang ilmu tertentu.
e)
majlis al-syu’ara’, adalah
lembaga untuk belajar syair dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
f)
majlis al-adab, adalah
tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, laporan
bersejarah bagi orang-orang terkenal.
g)
majlis al-fatwa dan al-nazar, merupakan
sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian
difatwakan.
Pada masa sekarang ini, istilah majelis banyak
digunakan dan memiliki beragam makna. Seperti majelis ilmu adalah majelis yang
didalamnya terdapat pembahasan tentang keilmuan, majelis dzikir adalah majelis
yang dalam kegiatannya lebih banyak berdzikir, majelis taklim adalah suatu
organisasi sebagai wadah pengajian. Selain itu ada istilah Majelis Syura (dewan
penasehat), Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu lembaga masyarakat
non-pemerintah yang terdiri dari para ulama Islam antara lainm bertugas memberi
fatwa. Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang merupakan
sebuah lembaga keulamaan yang dideklarasikan pada tahun 2012 dengan tujuan
memperkuat lembaga MUI.
2)
Jami’
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat menyebabkan karakteristik masjid
berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’
dan masjid biasa.
Jami’ maupun masjid keduanya digunakan sebagai
sarana untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami’ biasanya
memiliki halaqah-halaqah, majelis-majelis dan zawiyah-zawiyah.
Ada perbedaan penting antara jami’
dengan masjid. Jika jami’ dikelola dan dibawah otoritas penguasa atau khalifah,
sedangkan masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan.
Di Indonesia khususnya kata jami’
disandingkan dengan kata masjid sehingga menjadi istilah masjid jami’
yang menunjukkan bahwa masjid tersebut besar. Seperti Masjid jami’
Baitul Amin yang terletak di pusat kota Jember, Jawa Timur yang merupakan
masjid paling besar yang berada di kabupaten Jember. Dan setiap wilayah atau
kabupaten pasti ada masjid jami’. Dan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam
masjid jami’ dapat dikatakan sudah lebih kompleks dibandingkan dengan
masjid-masjid biasa.
3)
Halaqah
Halaqah berasal dari
bahasa Arab yang artinya melingkar, membentuk lingkaran.
Dalam perkembangan pendidikan Islam merupakan institusi pendidikan Islam
setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college, lembaga
lanjutan kuttab. Lebih dikenal dengan sebutan sistem/model halaqah.
Para murid duduk melingkar mengitari gurunya. Guru membacakan materi dan murid
mendengarkan dan menyimak. Biasanya jumlah murid dalam sistem halaqah
ini berkisar antara 20 murid.
Adapun proses halaqah adalah sebagai berikut:
a)
Langkah
pertama: Syeikh/guru membuka halaqah
dengan didahului do’a
b)
Langkah
kedua : Syeikh/guru memngemukakan komentar atas topik, tema tertetentu
c)
Langkah
ketiga: imla’/dikte dengan penjelasan dari Syeikh/guru
d)
Langkah
keempat: diskusi. pada langkah ini mahasiswa didorong untuk bertanya dan
mengemukakan pendapat dengan bebas.
e)
Langkah
kelima: Syeikh/guru memeriksa catatan yang dibuat mahasiswa, memberi anjuran
untuk membaca kitab lain, dan sebagainya.
Pada zaman modern saat ini, sistem atau model halaqah
ini masih tetap eksis dipakai di lembaga pondok pesantren. Selain halaqah ada juga metode sorogan.
Jika metode halaqah dikenal dengan pengajaran klasikal sedangkan sorogan
lebih dikenal dengan pengajaran individual.
Sorogan berasal dari bahasa Jawa ‘sorog’ artinya menyodorkan. Dalam sistem ini
seorang murid menyodorkan kitab pada gurunya untuk minta diajari. Dalam proses
belajar-mengajar, guru membimbing, memperhatikan sedangkan murid membaca
kitabnya sendiri.
Biasanya sistem ini dilakukan di pondok pesantren dalam pengkajian kitab
kuning. Contohnya metode sorogan yang dilakukan pada pelajaran nahwu di
kampus IAIN Jember oleh salah satu dosen nahwu yang bertempat di beranda
masjid.
Dalam bahasa Jawa juga dikenal dengan metode
atau sistem pengajaran ‘wetonan’ atau bandongan (berasal dari kata ‘bandong’
yang artinya berbondong-bondong). Sistem ini disebut juga dengan metode halaqah. Berbeda dengan sorogan, dalam
wetonan santri bersifat pasif.
4)
Maktab dan Kuttab
Adalah institusi pendidikan dasar. Mata
pelajaran yang diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-Quran, akidah dan
syair. Maktab/Kuttab diklasifikasikan menjadi dua yaitu
maktab/kuttab yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan maktab/kuttab
yang terbuka terhadap pengetahuan umum.
Maktab/Kuttab
berasal dari kata dasar yang sama yaitu ‘kataba’ yang artinya menulis.
Maka Maktab/Kuttab adalah tempat menulis, atau tempat dimana
dilangsungkannya kegiatan tulis-menulis.
Menurut sejarah sebelum datangnya agama Islam,
masyarakat Arab khususnya di Mekkah telah mengenal adanya lembaga pendidikan
rendah, yaitu Kuttab.
Kuttab didirikan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dan bertujuan
memberikan pendidikan kepada anak-anak.
Penduduk Arab yang pagan (penyembah berhala) memanfaatkan adanya kuttab
untuk belajar dan membaca berkenaan dengan budaya mereka yang menyenangi dan
memberi nilai lebih pada puisi, juga berhitung bagi usaha dagang mereka.
Tapi hal itu tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab, hal ini terbukti
sampai pada awal periode dakwah Rasulullah di Mekkah hanya 17 orang Quraisy
saja yang dapat membaca dan menulis.
Pada awal periode Madinah, oleh Nabi kuttab
dijadikan tempat kegiatan pendidikan bagi orang dewasa dengan menjadikan orang
non-muslim sebagai guru dan dengan tujuan belajar baca tulis. Sedangkan bagi
anak-anak masih merupakan pendidikan non-formal terutama oleh keluarga. Barulah
setelah kaum muslim dapat membaca dan menulis, pada masa khulafaur rasyidin
kuttab dijadikan lembaga pendidikan dasar dengan pelajaran al-Quran dan
dasar-dasar agama Islam. Selain itu juga diajarkan tentang ilmu gramatika
bahasa. Murid-muridnya berumur 5-10 tahun.
Sedangkan di Maghribi (sekarang: Maroko)
lembaga kuttab lebih menekankan pada pengajaran al-Qur’an, murid-muridnya
dilarang belajar yang lain sebelum menguasai al-Qur’an dengan baik. Berbeda
dengan Maroko, di Spanyol lembaga Kuttab lebih menekankan pelajaran baca tulis
dengan lebih diarahkan pada kemampuan berpuisi dalam bahasa Arab. Di Afrika,
kuttab lebih fokus pada pelajaran variasi qira’at, kaligrafi dan hadis. dan
terkahir di wilayah Timur sampai ke India memfokuskan kurikulum campuran dengan
al-Quran akan tetapi tidak memasukkan kaligrafi sehingga berdampak pada
jeleknya tulisan yang mereka tulis.
Syalabi dalam Baharuddin, dkk- mengatakan
bahwa institusi kuttab mengalami perkembangan sehingga ada yang mampu
menyediakan fasilitas asrama dan akomodasi bagi para muridnya.
Sehingga dengan begitu Hasbullah mengatakan
bahwa pada zaman sekarang, khususnya di Indonesia model seperti ini dikenal
dengan istilah pondok pesantren.
Sebenarnya istilah ‘maktab/kuttab sudah jarang dipakai, di Indonesia. Akan
tetapi jika penulis menganalogikan dengan lembaga pendidikan saat ini, maktab/kuttab
dapat disamakan dengan madrasah ibtidaiyah atau setingkat dengan sekolah dasar
ataupun taman pendidikan al-Quran karena kurikulum kuttab pada zaman
dahulu yang masih berkutat pada ilmu baca tulis al-Quran.
5)
Masjid
Makdisi menyatakan bahwa masjid adalah lembaga
pendidikan pada masa awal Islam. Pada waktu itu masjid diberi nama sesuai
dengan orang yang mengajar di dalamnya seperti ‘masjid Rasulullah’ karena
Rasulullah langsung yang mengajar dalam masjid itu. Masjid Syafi’i yang
terletak di Jl.Saffron di baghdad, Masjid Qadi Abu Hassan az-Ziyadi, masjid Abu
Bakar as-Syafi’i, masjid Di’lij, masjid Abu Sahl as-Su’luki, masjid al-Baiyi’
dan lain-lain.
Pada abad ke 2 H/8 M, dalam masjid juga telah diajarkan tentang nahwu dan filologi.
Suwito mengatakan dalam bukunya bahwa masjid
merupakan institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi SAW.
Selain itu Baharuddin, dkk juga mengatakan dalam bukunya bahwa masjid dapat
diklaim sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tertua dalam Islam.
Kita sebagai umat Islam tentu telah mengetahui
bahwa semenjak berdirinya, masjid telah dijadikan sebagai pusat kegiatan dan
informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Masjid pertama yang
dibangun oleh Rasulullah adalah masjid Quba, tentu ia telah dijadikan sebagai
tempat pengkajian keilmuan khususnya yang berkaitan dengan masalah kaum
muslimin yang pastinya Rasulullah saw bertindak sebagai mu’allim. Akan tetapi
beberapa sumber mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam pertama adalah ‘bait’
(rumah). Yang dimaksud rumah adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam.[54] Rumah itu
digunakan sebagai tempat berkumpul orang-orang muslim yang pertama masuk Islam
(ketika Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi), mungkin ini salah satu
alasan Makdisi tidak menyinggung bait al-Arqam (rumah Arqam)
sebagai lembaga pendidikan dalam bukunya begitu juga shuffah.
Di Indonesia terdapat istilah masjid agung dan
masjid jami’.
Masjid juga tidak hanya dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah, akan tetapi
sebagai pusat pengkajian keislaman seperti kajian kitab kuning, sebagai lembaga
pendidikan al-Quran dari tingkat anak-anak hingga orang tua. Dengan banyak
dilengkapi berbagai fasilitas pendidikan. Tak sedikit juga yang dilengkapi
dengan perpustakaan didalamnya. Masjid yang tersebar di hampir seluruh daerah,
bahkan ada daerah yang dijuluki sebagai kota seribu masjid, membuat masyarakat
Indonesia yang tak sedikit jumlahnya tidak merasa kesulitan mengakses tempat
ibadah sekaligus tempat belajar. Biasanya sebuah masjid yang terletak di desa
maupun kota memiliki ‘ta’mir’ atau pengurus, dengan adanya ‘ta’mir masjid’
diharapkan pengelolaan masjid dapat maksimal. Selain itu ada juga ‘remaja
masjid’ yang dibentuk untuk melatih generasi muda Islam dalam pengelolaan kegiatan di masjid.
Berbicara masalah lain dari masjid, kini
banyak fenomena masjid dipoles agar lebih menarik dan indah dengan tujuan awal
agar masyarakat lebih bersemangat dalam melakukan ibadah kepada Allah swt, akan
tetapi penulis menganggap bahwa fenomena itu seperti suatu ajang perlombaan
agar masjid banyak dikunjungi bukan untuk tempat ibadah akan tetapi sebagai
tempat rekreasi, bisa dikatakan hanya untuk kepentingan komersil semata. Bahkan
masjdil haram di Makkah pun kini didesain menyerupai kota Las Vegas yang ada di
Amerika. Semoga kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya.
Selain masjid di negara kita juga terdapat
surau atau ada yang menyebut dengan sebutan ‘langgar’. Merupakan sebuah tempat
yang memiliki fungsi seperti masjid yakni selain digunakan sebagai tempat
shalat berjamaah juga dijadikan sebagai tempat kegiatan keagamaan masyarakat
dan pendidikan dasar keislaman.
6)
Zawiyah
Kata zawiyah berarti sudut masjid, yang
digunakan untuk iktikaf (berdiam diri) dan beribadah. Berasal dari bahasa Arab
yaitu akar kata dari ‘inzawa-yanzawi’ artinya mengambil tempat
tertentu, atau sudut tertentu untuk manjalankan i’tikaf dan mensyiarkan agama. Di
wilayah Maghribi, zawiyah dibangun
untuk kepentingan lain yaitu sebuah masjid khusus untuk sekelompok kaum sufi
atau tempat pemakaman salah seorang wali.
7)
Khan
Khan biasanya
difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau
sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko,
juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak
belajar hukum islam di suatu masjid,
selain itu juga berfungsi sebagai tempat belajar privat.
Pada zaman sekarang, jika khan
dianalogikan maka sama halnya dengan toko buku. ataupun lembaga-lembaga
pendidikan privat/les.
b.
Lembaga
Pendidikan Inklusif (terbuka) terhadap Pengetahuan Umum
Di Indonesia lembaga inklusif terdapat dalam
peraturan menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 70 Tahun 2009
disebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberi kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
Jika dilihat dari kedua pengertian inklusif
diatas, dapat dikatakan bahwa maksud lembaga inklusif yang dikatakan oleh
Makdisi berbeda dengan pendidikan inklusif yang ada di negara kita. Jika lembaga inklusif menurut Makdisi adalah
lembaga pendidikan yang didalamnya sudah diajarkan pengetahuan umum, yang mana
sebelumnya adalah lembaga eksklusif atau tertutup yaitu lembaga pendidikan yang
hanya mengajarkan pengetahuan keagamaan islam saja.
Makdisi menyebutkan lembaga yang termasuk kategori inklusif ada
dua, yaitu perpustakaan dan rumah sakit.
1)
Perpustakaan
Makdisi menyebutkan bahwa sejarah perpustakaan
dibagi menjadi dua periode:
a)
periode bait al-hikmah
Didirikan oleh
Khalifah al-Ma’mun, dan juga dikenal sebagai ‘khizanat al-hikmah’.
Suwito menyatakan bahwa perpustakaan merupakan salah satu ciri-ciri
penting masa Dinasti Abbasiyah. Menurutnya perpustakaan ada yang bersifat umum
dan khusus. Bersifat umum adalah didirikan pemerintah dan yang bersifat khusus
adalah didirikan oleh para sarjana ataupun ulama. Jika Makdisi mengatakan bahwa
yang mendirikan bait al-hikmah adalah khalifah al-Ma’mun, sedangkan Suwito
mengatakan bahwa bait al-hikmah didirkan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan
berkembang pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun.
Bait al-hikmah adalah salah satu perpustakaan milik Islam yang
paling lengkap. Didalamnya banyak sekali terdapat buku-buku ilmu pengetahuan
termasuk buku-buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibti, dan
Aramy.
b)
periode Dar al-‘Ilmi
Dar al-‘ilmi didirikan oleh Abu al-Qasim Ja’far bin Muhammad bin
hamdan al-Maushuli di Mosul. Perpustakaan ini sudah dilengkapi dengan berbagai
macam ilmu pengetahuan, perpustakaan ini diwaqafkan pada para penuntut ilmu.
Jika ada penuntut ilmu yang berasal dari daerah yang jauh kemudian mereka akan
diberi buku-buku dan bekal yang cukup. Sering sekali pendirinya, Ja’far berada
di perpustakaannya dan membacakan syair-syair gubahannya sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perpustakaan adalah ruang yang
disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan
kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.
Dalam negara kita khusunya, perpustakaan secara umum memiliki arti sebagai
sebuah tempat koleksi buku, majalah ataupun media cetak lain yang bersifat ilmu
pengetahuan, hiburan, rekreasi, bahkan ibadah. Semakin berkembangnya teknologi,
begitu pula perpustakaan. Sesuai perkembangannya pada masa modern ini
perpustakaan tidak hanya sebagai tempat koleksi buku atau majalah akan tetapi
berkembang pada tempat untuk mengakses informasi dalam format apapun. Sebagai tempat penyimpanan seperti peta, kaset, film dokumentasi
sejarah, CD-ROM, DVD, tape video, dan sebagainya. Juga terdapat bentuk dari perpustakaan
modern yang disebut “digital library” atau perpustakaan digital yang mana data
bisa diakses lewat jaringan komputer.
Di negara kita, perpustakaan memiliki banyak jenis, perpustakaan pusat
milik negara atau disebut dengan perpustakaan nasional/national library
(disingkat perpusnas), juga telah memiliki versi digital, yang mana kita
hanya tinggal mengakses pada alamat http://perpusnas.go.id.
Selain perpusnas, ada juga perpustakaan umum untuk masyarakat secara umum,
perpustakaan khusus yang hanya terdapat pada suatu instansi tertentu misalkan
perpustakaan Bank Indonesia yang terletak di dalam Bank Indonesia itu sendiri,
perpustakaan wilayah, yang letaknya pada setiap kabupaten di seluruh negara
Indonesia. Dikenal dengan sebutan perpusda, singkatan perpustakaan daerah
karena letaknya pada daerah. Contohnya di kabupaten Jember terdapat perpusda
yang terletak di Jl. Letjend Panjaitan No.49 Jember. Selain itu jenis
perpustakaan yang lain seperti perpustakaan perguruan tinggi dan sekolah. Jadi
pada setiap lembaga pendidikan sekolah baik negeri maupun swasta diwajibkan
memiliki perpustakaan. dan terakhir perpustakaan keliling yang menggunakan alat
transportasi untuk membawa koleksi buku dan berkeliling.
2)
rumah sakit
Makdisi menyebutkan bahwa rumah sakit
merupakan sekolah yang didalamnya diajarkan tentang pengobatan. Disebutkannya
bahwa Ibn Abi Usaibi’a (w. 668 H/1270 M) mengajarkan tentang pengobatan di
rumah sakit ‘Adudi, yang mana rumah sakit itu dibangun oleh Buwaihid ‘Adud
ad-Daula (rumah sakit ini terletak di Baghdad dan mulai beroperasi pada abad ke
5 H/11 M).
Sebagaimana juga Suwito menyebutkan dalam
bukunya bahwa pada masa Abbasiyah rumah sakit tidak hanya dijadikan sebagai
tempat merawat orang sakit tetapi juga sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga
yang berhubungan dengan keperawatan ataupun pengobatan.
Selain itu Zuhairini juga menyebutkan bahwa
pada masa kejayaan Islam, untuk menyejahterakan umat Islam, para khalifah
membangun rumah-rumah sakit selain berfungsi untuk merawat dan mengobati orang
sakit juga sebagai tempat penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan farmasi.
Hal ini benar adanya dan berlaku hingga masa
sekarang, khususnya di negara kita dimana rumah sakit dijadikan tempat
pendidikan seperti magang atau praktek bagi mereka yang belajar pada jurusan
keperawatan, kebidanan, kedokteran. Baik rumah sakit milik pemerintah maupun
swasta. Bahkan selain rumah sakit juga terdapat lembaga kesehatan yang disebut
puskesmas,
yang juga dijadikan tempat magang atau praktek pendidikan. Contoh konkretnya
adalah RS dr.Soebandi di Patrang, Jember, Jawa Timur yang dijadikan tempat
magang atau praktikum dari fakultas kedokteran Universitas Negeri Jember. Jadi
dapat disimpulkan bahwa sejak masa kejayaan Islam, rumah sakit sudah dijadikan
sebagai tempat belajar/lembaga pendidikan.
c.
Madrasah dan
Lembaga Yang Asalnya Sama (Cognate Institutions)
Madrasah dapat dikatakan sebagai lembaga
pendidikan “par excellence”, artinya lembaga pendidikan yang sangat menonjol.
Darwis dalam Buharuddin- mengatakan bahwa
madrasah adalah bangunan yang digunakan untuk belajar dan sebagai tempat
tinggal bagi guru dan murid, umumnya dilengkapi dengan sebuah perpustakaan.
Disebutkan Baharuddin bahwa di madrasah ini meskipun sudah diajarkan
pengetahuan umum seperti sejarah, geografi akan tetapi ilmu-ilmu keagamaan
masih menjadi primadona.
Abuddin menyebutkan bahwa dalam sejarah
madrasah mulai muncul pada zaman khalifah Dinasti Abbasiyah, sebagai kelanjutan
dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Dengan tujuan
pendiriannya adalah untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan
ideologi tertentu,
sebagaimana terjadi pada madrasah Nizamiyah.
Sedangkan dalam ensiklopedi mini sejarah dan
kebudayaan Islam dikatakan bahwa pada abad ke 4 H/10 M, nama madrasah
menggantikan halaqah, yaitu lembaga
pendidikan tinggi setelah kuttab. Adapun proses atau langkah-langkah halaqah sebagaimana dipaparkan dalam sub
bab halaqah sebelumnya.
Berikut ini
dipaparkan fakta mengenai kapan dimulainya pengembangan madrasah dan orang yang
menjadi pelopor:
1.
Pada
masa kekuasaan dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Nishapur (meliputi
Irak, Afghanistan, dan daerah yang berpenduduk muslim bekas Uni Sovyet),
kebudayaan telah berkembang dengan semarak dan madrasah sudah tersebar
sepanjang abad ke 4 H/10M.
2.
Pada
masa kekuasaan dinasti Saljuk (429-454 H/932-1062 M), ketika perdana menteri
dipegang oleh Nizam al-Mulk (dari tahun 456-485 H/1064-1092 M) membangun
madrasah di semua wilayah kekuasaannya (Nishapur, Khurasan, dan Irak) hingga
mencapai 12 madrasah. Sehingga ia dijuluki pelopor pembangun madrasah secara
besar-besaran dan madrasah yang dibangunnya disebut dengan Madrasah
Nizamiyah.
3.
Abu
Sa’ad, menteri keuangan Sultan Alf Arslan untuk mengenang jasa Abu Hanifah
membangun madrsah di samping makam Imam Abu Hanifah dan diberi nama Madrasah
Imam Abu Hanifah dan madrasah ini dikhususkan untuk yang bermadzhab Hanafi.
4.
al-Mustanshir,
salah satu khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa selama 17 tahun (623-640
H/1226-1242 M), sepuluh tahun dari masa kekuasaannya digunakan untuk membangun
madrasah dan diberi nama Madrasah al-Mustanshiriyah, Baghdad. Madrasahnya ini
digunakan untuk pengembangan semua madzhab.
5.
Raja
al-Mansur Qalawun (berkuasa dari 678-689 H/1280-1290 M), rumpun raja-raja
Mamluk mendirikan madrasah di Kairo, Mesir dan terkenal dengan nama Madrasah
al-Manshuriyah. Di madrasahnya diajarkan fiqih sesuai dengan madzhab empat, hadis, tafsir ilmu
kedokteran, dan ceramah-ceramah umum.
Adapun kurikulum
madrasah pada periode awal sangat bervariasi yang terkelompokkan menjadi tiga
kelompok keilmuan dan dari ketiga kelompok ini, ilmu keagamaanlah yang
dijadikan kurikulum madrasah:
1.
ilmu
keagamaan dengan ilmu fiqih sebagai induknya,
2.
ilmu
klasik yang berasal dari Yunani (seperti ilmu fisika, filsafat, kedokteran,
astronomi, dll),
3.
ilmu
sastra dan bahasa Arab sebagai penunjang.
Jika dikaitkan
dengan pendidikan saat ini khususnya di Indonesia, madrasah memang termasuk
lembaga pendidikan yang bersifat formal. Istilah madrasah berasal dari bahasa
arab yang artinya disamakan dengan sekolah. Di negara kita madrasah
dikhususkan sebagai sekolah (umum) yang kurikulum mata pelajarannya tentang
keislaman. Madrasah Ibtidaiyah adalah istilah sekolah yang setara dengan ada Sekolah
Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah setara dengan Sekolah Menengah Pertama dan
Madrasah Aliyah setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Selain lembaga-lembaga pendidikan yang
disebutkan Makdisi diatas ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam yang lain
seperti:
a)
toko buku, memiliki peran penting
dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku akan
tetapi pada perkembangan selanjutnya menjadi sarana berdiskusi dan berdebat.
Di Baghdad terdapat 100 toko buku pada zaman khalifah al-Ma’mun.
Jika dikaitkan
dengan toko buku pada masa modern saat ini, sama halnya dengan peran toko buku
pada masa lampau, tidak hanya menjual buku terkadang toko buku seperti
“Gramedia” juga mengadakan berbagai macam lomba seperti lomba menulis, mewarnai,
bahkan fashion show batik nusantara misalnya.
b)
istana
Menurut kamus
Besar Bahasa Indonesia, istana berarti rumah kediaman resmi raja, kepala
negara, presiden dan keluarganya.
Selain menjadi tempat tinggal para raja, pada zaman Islam khususnya pada masa
Dinasti Abbasiyah istana juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan akan tetapi
hanya orang-orang istana saja yang dapat masuk kedalamnya.
c)
rumah-rumah para ulama, pada zaman
klasik para ulama dengan ikhlas menjadikan rumah pribadinya sebagai tempat
belajar. Pada umumnya hal tersebut dikarenakan sang guru yang tidak
memungkinkan mengajar di lembaga seperti masjid. Seperti rumah Imam al-Gahzali,
Ibnu Sina, Ali bin Muhammad al-fasihi.
Pada masa
sekarang, kita dapat mencontoh salah satu orang yang karena keterbatasannya tetap
mengabdi pada anak bangsa. Seperti halnya Ibu Een Sukaesih, seorang guru tanpa
tanda jasa yang mengalami kelumpuhan dan menyebabkannya terus berbaring selama
puluhan tahun. Singkat kata, meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya, dia
menjadikan kamar tidurnya sebagai tempat belajar anak-anak di sekitar rumahnya.
Beliau mendapat gelar “guru kalbu”. Dari beliau harusnya kita sebagai pendidik
dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi.
d)
ribath, biasanya
dihuni oleh orang-orang miskin. Merupakan salah satu lembaga pendidikan
untuk para sufi. Yaitu tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan pada ibadah
semata.
Setelah madrasah muncul, banyak sekali madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath.
e)
badiah, sebagai
lembaga pendidikan badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli
dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama pergi ke badiah
dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan Arab.
f)
shuffah, adalah suatu
tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin.
D.
Penutup
Adapun kesimpulan berdasarkan
pembahasan diatas adalah bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
bukanlah suatu fenomena baru, tetapi sejak masa Islam awal perbedaan pendapat
tersebut sudah terjadi. Perbedaan terjadi karena adanya ciri dan pandangan yang
berbeda dari setiap madzhab dalam
memahami agama Isam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita sebagai umat
Islam harus bisa memahami, terbuka dan bijaksana dalam memandang perbedaan,
sehingga dapat dikatakan bahwa berbeda itu tidak selalu identik dengan
bertentangan selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan Islam adalah
satu dalam keragaman.
Timbulnya madrasah sebagai lembaga
formal dalam dunia Islam semata-mata merupakan bentuk pengembangan dari sistem
pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak
awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar
pengajaran didalamnya.
Demikianlah, tulisan ‘chapter
review of book “The Rise of Colleges: Institutions of Learning
in Islam and The West’ yang ditulis oleh George Makdisi ini semoga bermanfaat
bagi kita semua. Selain menambah wawasan, penulis menyarankan bahwa buku
karangan Makdisi ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam pendidikan
khususnya program studi Pendidikan Agama Islam. Akhirnya penulis berharap
mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
E.
Daftar Pustaka
Karya, H. Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah
& Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos wacana Ilmu.