Rabu, 10 Februari 2016

Tugas Book Review (Chapter 1) of The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West by George Makdisi

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Book Review (Chapter 1) of The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West by George Makdisi

Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam







Oleh:
Fakhriyatus Shofa Alawiyah
NIM. 084 9315 003


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Miftah Arifin, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(PPs IAIN) JEMBER
Oktober, 2015


DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
PENDAHULUAN..................................................................................... 1
ISI BUKU................................................................................................... 2
BAB I: Lembaga-Lembaga.......................................................................... 2
1.      Munculnya Madzhab-Madzhab................................................. 2
2.      Tipologi Lembaga-Lembaga Pendidikan................................... 7
DISKUSI DAN ANALISIS...................................................................... 7
BAB I: Lembaga-Lembaga.......................................................................... 7
1.      Munculnya Madzhab-Madzhab................................................. 7
2.      Tipologi Lembaga-Lembaga Pendidikan................................... 9
PENUTUP.................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 25

Judul               : The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West
Penulis             : George Makdisi
Kota Terbit      : Edinburgh
Penerbit           : Edinburgh University Press
Tahun Terbit    : 1981

A.      Pendahuluan
The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West adalah sebuah buku berbahasa Inggris yang ditulis oleh George Makdisi, diterbitkan oleh Edinburgh University Press di Edinburgh pada tahun 1981. Dengan tebal kurang lebih 377 halaman beserta lampirannya, buku ini merupakan hasil dari penelitian dari Makdisi dengan tujuan mencapai pemahaman lebih baik terhadap periode penting dalam sejarah Islam. Gerakan intelektual menjadi lebih jelas jika dipelajari dengan referensi yang dekat dengan kemampuan-kemampuan yang dihasilkan mereka. Bentuk dan isi dari kerja intelektual dapat dipahami melalui pengkajian, pengajaran, penelitian dan komposisi dari perjalanan sejarah yang dimaksud. Hal tersebut seperti yang makdisi paparkan dalam kata pengantar:
“This study was undertaken in order to achieve a better understanding of apivotal period in Islamic history. Intellectualmovements become more intelligible when studied in close reference to the forces which produced them. The form and content of intellectual works are intelligible in the extent to which the methods of instruction, study and composition are understood in their essential details”.[1]

Jadi buku ini merupakan hasil karya penelitian yang kredibel dan valid, yang kemudian dideskripsikan menjadi perjalanan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam. Pada bab satu khususnya tentang Kelembagaan (institution) yaitu terdiri dari tiga persoalan yaitu tentang: (1) munculnya madzhab-madzhab, (2) tipologi lembaga pendidikan, dan (3) hukum perwakafan. Persoalan pertama membahas tentang berbagai madzhab yang muncul pada periode awal yang sebenarnya banyak didominasi oleh individual madzhab, namun dalam perkembangannya mereka menjadi aliran madzhab yang mengikuti personal madzhab tertentu yang hanya terdiri dari empat madzhab besar, yaitu madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Sedangkan persoalan kedua membahas tentang tipologi institusi pendidikan. Makdisi membagi lembaga pendidikan dalam dunia Islam menjadi dua, yaitu: (1) lembaga sebelum munculnya madrasah dan (2) lembaga madrasah itu sendiri. Dia cenderung menganggap bahwa madrasah merupakan tonggak bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia Islam. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang termasuk pada kategori pertama yaitu lembaga yang munculnya sebelum munculnya madrasah diantaranya adalah lembaga yang didalamnya tidak diajarkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences) seperti majelis-majelis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab, kuttab dan lembaga-lembaga sufi seperti zawiyah, ar-ribath, khan. Sedangkan lembaga yang memasukkan ilmu-ilmu umum diantaranya adalah perpustakaan dan rumah sakit.
Dalam kesempatan ini penulis akan mengulas tentang bab satu khususnya pada persoalan yang pertama dan kedua saja. Sekiranya dapat bermanfaat bagi kita selain tambahan referensi bahasa asing juga pengetahuan tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya pada masa Islam klasik.

B.       Isi Buku
Adapun isi BAB I dari buku karya George Makdisi yang berjudul “The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West” adalah sebagaimana berikut:
BAB I                  : Kelembagaan atau Lembaga-Lembaga
1.        Munculnya Madzhab-Madzhab
Bab ini membahas tentang ‘munculnya Madzhab’. Yang memiliki enam sub-bab, yaitu:
a.    Madzhab dan Madrasah
Sebagaimana diulas sedikit pada pendahuluan diatas, dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah yang hampir sama akan tetapi maknanya berbeda. yaitu ‘school of law’ dan ‘college of law’. Pada istilah ‘school of law’, kata ‘school’ bukan berarti ‘sekolah’ akan tetapi lebih mengarah pada ‘sect’ atau dalam bahasa Indonesia berarti sekte. Dapat juga bermakna ‘rite’ atau upacara. Sedangkan arti ‘college of law’ mengarah pada lembaga, bangunan tempat pembelajaran. Istilah ‘school of law’ yang berarti madzhab menunjuk pada dua hal: 1) kelompok jurisconsult (faqih-multi) yang berhubungan karena berasal dari satu daerah (geographical schools) 2) kelompok jurisconsult (faqih-multi) yang mengikuti salah satu tokoh ternama.[2]


b.    Madzhab sebagai Sistem yang Individual
Sebagai sistem yang individual, madzhab tidaklah bergantung pada sebuah komite atau organisasi. Para fuqaha sendirilah yang bekerja untuk melakukan ijtihad dengan berdasarkan hadis Nabi.[3]
c.    Munculnya Empat Madzhab
Joseph Schacht telah menuliskan tentang madzhab klasik seperti Kufian, Medinian, Syria. Kemudian pada permulaan abad 8 M, kelompok atau golongan yang berdiri sendiri dengan Imam mereka seperti Imam Abu Hanifah di Kuffah, Imam Malik di Madinah, al-Auza’i di Syria. Baru kemudian pada pertengahan abad 3 H/9 M, madzhab-madzhab ini berubah menjadi madzhab yang berdiri sendiri.
Sekitar lima ratus madzhab lenyap pada awal abad 3 H/9 M, sampai empat madzhab Sunni yang tersisa sampai sekarang. Keempat madzhab yang berdiri sendiri itu adalah diantaranya adalah Abu Hanifah (w.150 H/767 M), Malik (w. 179 H/795 M), Syafi’i (w. 204 H/820 M), Ibnu Hanbal (w. 241 H/855 M) yang kemudian nama mereka diabadikan menjadi nama madzhab itu sendiri (eponim), Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki. Sedangkan dua madzhab lainnya yang tidak eksis diantaranya adalah al-Auza’i (w. 157 H/774 M) dan Sufyan ath-Thauri (w.161 H/778 M), keduanya dari Syria.[4]
d.   Hubungan antara Madzhab dan Ilmu Kalam
Sebagaimana beberapa sumber sejarah, madzhab diklasifikasikan sesuai istilah yang diterapkan pada teologi/ilmu kalam. Mereka diklasifikasikan menjadi dua yaitu kaum tradisionalis, istilah bagi ahli hadis dan kaum rasionalis disebut ahlu ra’yi/ashab ar-ra’yi atau istilah lain lagi yaitu ahl an-nazar dan ahl al-qiyas.[5]
Ibnu Qutaiba menyebutkan bahwa Ahmad bin Hanbal adalah rasionalis atau ahlu ra’yi. Sedangkan al-Maqdisi menyebutkan bahwa pengikut Ahmad bin Hanbal seperti al-Auza’i, Ibnu Mundir, Ishaq bin Rahawih adalah ahlu hadis. Shahrastani mengklasifikasikan Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Dawud bin Khalaf sebagai ashab al-hadis, dan hanya madzhab Abu Hanifa sebagai ahlu ra’yi. Ibnu an-nadim dan al-maqdisi mengklasifikasikan Hanbali, Auza’i dan Thauris sebagai madzhab yang tradisionalis (ashab al-hadis). Subki menyebutkan bahwa madzhab fiqih pada awal abad ke-4 H/10 M adalah Syafi’i, Maliki, Thauri, Hanafi, dan Dawudi. Di sisi lain al-Maqdisi  menyebutkan pada akhir abad tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Dawudi.[6]
e.       Beberapa alasan/jawaban dan Kekurangan Mereka
Alasan telah diberikan sebagai penjelasan mengapa beberapa madzhab dapat hidup lama selama yang lainnya lenyap. Menurut Snouck Hourgrounje Beberapa alasan yang diberikan mengapa madzhab empat masih eksis hingga masa sekarang sedangkan banyak madzhab lain yang sudah lenyap atau tidak eksis lagi adalah faktor geografi dan eksistensi imam dari madzhab itu sendiri. Joseph Schacht juga mengatakan hal yang sama. Snouck menyebutkan bahwa kira-kira pada tahun 500 H/1106 M adalah waktu munculnya empat madzhab Sunni. Sedangkan Schacht menyebutkan pada tahun 700 H/1300 M sebagai munculnya empat madzhab dan ditutupnya ‘pintu’ ijtihad. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan pegangan, karena kita tidak mengetahui pasti waktu kapan semua madzhab itu lenyap hingga hanya empat madzhab saja yang bertahan.[7]
f.     Kunci untuk Memahami Permasalahan Madzhab
Menurut Makdisi, kunci untuk memahami fenomena/permasalahan madzhab dalam Islam adalah untuk menemukan pengaruh hukum dan tradisionalisme. Hal itu dapat ditemukan dalam perebutan/perjuangan antara tradisionalisme dan rasionalisme, poin penting dari perebutan/perjuangan itu adalah Great Inquisition, Mihna. Selain itu, hal tersebut dapat ditemukan di Baghdad sebagai pusat budaya Muslim dunia.[8]
2.      Tipologi Lembaga-Lembaga Pendidikan
a.    Lembaga-Lembaga sebelum Madrasah
1)      Lembaga-Lembaga Tertutup (Eksklusif) terhadap pengetahuan umum.
a)      Majelis
Istilah ‘majelis’ berasal dari bahasa Arab dari akar kata ‘jalasa’ yang artinya duduk dan merupakan  isim makan (keterangan tempat) yang artinya tempat duduk. Ada dua macam majelis, yaitu majelis an-nazar dan majelis ‘ilm yang berarti tempat pertemuan para sarjana untuk berdiskusi. Selain itu terdapat istilah majelis hukum, majelis al-wa’z, majelis at-tadris, majelis ash-shu’ara’, majelis al-adab, majelis al-fatwa, majelis al-fatwa wa an-nazar, majelis at-tadris wa al-fatwa.[9]
b)      Jami’ dan Halaqah
Jami’ sebagai sebuah lembaga pendidikan pada masa klasik adalah sebuah lembaga yang mempunyai halaqah-halaqah, belajar-melingkar, yang mana ilmu-ilmu keislaman diajarkan. Antara Jami’ di Damaskus dan Kairo berbeda.[10] Di jami’, guru memegang peranan penting dalam halaqah. Pelajaran yang diajarkan dalam halaqah biasanya dijadikan nama dari halaqah itu sendiri. Misalkan halaqah an-nahwiyin, halaqah yang didalamnya mempelajari tata bahasa/nahwu, halaqah ahlu al-hadis adalah halaqah bagi sarjana-sarjana hadis, halaqah al-Baramika adalah halaqah orang-orang Barmakid.[11]
c)      Maktab dan Kuttab
Maktab dan Kuttab adalah lembaga pendidikan untuk pendidikan dasar. Menurut ‘Abd al-Ghafir al-Farisi perbedaan antara maktab dan kuttab adalah jika maktab merupakan tempat belajar anak dari umur lima tahun dan kuttab merupakan tempat belajar anak umur sepuluh tahun. Mata pelajaran yang diajarkan berupa al-Quran, khat, kaligrafi, i’tiqad, dan syair.[12]
d)     Masjid
Masjid sudah eksis atau ada sejak masa awal Islam.[13]
e)      Khan
Khan memiliki banyak arti, jika di kota maka khan merupakan sebutan untuk sebuah hotel atau penginapan. Jika di jalan adalah sebagai tepi jalan penginapan, begitu juga di gurun pasir. Bisa juga diartikan sebagai tempat barang (warehouse) atau pusat komersil dengan banyak pertokoan. Seperti khan al-Narsi yang terletak di alun-alun Karkh, Baghdad bagian barat. Selain itu khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid dari luar kota.[14]
2)      Lembaga-Lembaga Terbuka (Inklusif) terhadap pengetahuan umum
a)      Perpustakaan
Ada enam kata dalam bahasa Arab yang mengacu pada istilah perpustakaan ini, yaitu tiga kata yang menunjukkan tempat: bait (rumah), khizanah (lemari), dan Dar (rumah), dan tiga kata yang menunjukkan konten/isi: hikmah, ‘ilmu, dan kutub (buku-buku). Dari kombinasi kedua istilah itu nantinya akan tercipta istilah perpustakaan: bai al-hikmah, khizanat al-hikmah, dar al-hikmah, dar al-‘ilmi, dar al-kutub, khizanah al-kutub, dan bait al-kutub, bait al-‘ilmi, dan khizanah al-‘ilmiy.[15]
b)      Rumah Sakit
Selain diketahui sebagai rumah sakit, maristan juga merupakan sekolah obat.[16]
b.    Madrasah dan Lembaga Yang Asalnya Sama (Cognate Institutions)
Makdisi menyebutkan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah yang terjadi secara tidak langsung, dan diantaranya melalui tiga tahap: (1) tahap masjid, berlangsung terutama pada abad-abad ke-8 M dan ke-9 M. Selain dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah pada masa itu masjid juga sudah dimanfaatkan sebagai tempat majelis ta’lim dan Baghdad salah satu pusatnya. (2) tahap masjid khan, yaitu suatu masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan atau sejenis pemondokan/asrama yang letaknya berdampingan dengan masjid tersebut. Pemondokan/asrama itu memang dipersiapkan untuk para penuntut ilmu yang datang dari berbagai kota. Tahap ini berlangsung pada abad ke-10 M. (3) tahap madrasah. Dengan dipelopori berdirinya madrasah Nizham al-Mulk di Baghdad maka madrasah sudah mencapai pola yang utuh.[17]
Makdisi lebih lanjut menjelaskan bahwa ketiga (tahap) lembaga diatas berkembang secara alami, pada abad ke 2 H/8 M atau lebih awal lagi masjid telah menjadi lembaga pendidikan tinggi (college), yang menyediakan gaji untuk para staf dan biaya pendidikan bagi para murid yaitu masjid khan. Masjid khan mengambil satu langkah lebih maju dengan menyediakan makanan bahkan tempat menginap untuk mereka yang menuntut ilmu, akhirnya pada tahap madrasah, tempat yang menyediakan seluruh kebutuhan belajar muridnya.[18]
1)        Madrasah
Madrasah adalah lembaga pendidikan yang sangat menonjol atau “par excellence”.[19]
2)        Lembaga Yang Asalnya Sama (Cognate Institutions)
Lembaga pendidikan yang paling dasar dan berjasa adalah masjid.[20]
C.      Diskusi dan Analisis
Berdasarkan isi buku karya Makdisi diatas, berikut penulis paparkan hasil ‘diskusi’ dengan berbagai referensi terkait serta analisis penulis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam bab pertama buku ini mencakup tiga persoalan, berikut ini akan dipaparkan dua persoalan diantaranya:
1.        Munculnya Madzhab
Menurut bahasa, madzhab berasal dari shigat mashdar mimy dan isim makan yang diambil dari fi’il madhi ‘dzahaba’ yang berarti pergi.[21] Sedangkan menurut kamus kontemporer kata “madzhab” berarti aliran/doktrin/ajaran.[22] Sedangkan menurut istilah merupakan metode dan hukum-hukum tentang berbagai masalah yang telah dilakukan, diyakini dan dirumuskan oleh Imam mujtahid.
Pertentangan antara tradisionalisme Islam dengan rasionalisme Islam yang semakin berkembang karena adanya pengaruh pemikiran Yunanian (Hellenistik), serta persaingan ideologis antara paham Sunni dengan paham Syi’ah merupakan hal utama yang melatarbelakangi kemunculan dua kelembagaan (yaitu madzhab dan madrasah) yang kemudian nantinya mencapai kemapanan dengan terlebih dahulu melalui proses panjang. proses ini berjalan secara bertahap dengan alur perkembangan: (a) terbentuknya madzhab-madzhab pada pertengahan abad ke-2 H, (b) bermunculannya masjid-masjid yang dimanfaatkan untuk kajian hukum pada abad ke III dan IV H, (c) tersebarnya institusi-institusi konservatif lain yang mendukung seperti dar al-hadis pada abad ke-6 H.
Huzaemah mengelompokkan madzhab-madzhab fiqih menjadi empat[23]:
a.         Ahl sunnah wal jama’ah, terdiri dari ahlu ra’yi yaitu madzhab Hanafi dan ahlu hadis yaitu Imam madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Ini termasuk ke dalam madzhab yang eksis sampai sekarang.
1)        Madzhab Hanafi, yaitu madzhab yang dinisbahkan kepada Imamnya, yaitu Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin tsabit. Beliau lahir di Kuffah, tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini disebut juga dengan madzhab ahl ar-ra’yi pada masa tabi’ut tabi’in. madzhab ini sebenarnya merupakan kumpulan pendapat imam Abu Hanifah sendiri beserta para muridnya serta para penggantinya sebagai bentuk perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang merupakan bentuk ijtihad. Adapun Imam Abu Hanifah berguru pada hammad bin Abu Sulaiman dalam bidang fiqih, selain itu juga kepada Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ maula Ibnu Umar. Dasar-dasar madzhab Hanafi ada tujuh pokok, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Qoul as-shahabi, qiyas, istihsan, ijma’ dan ‘Urf.
2)        Madzhab Maliki, yaitu kumpulan pendapat-pendapat dari Imam Malik beserta para pengikutnya. Nama lengkap beliau adalah Imam Malik bin Anas bin Malik. Lahir di Madinah pada tahun 90 H dan wafat pada tahun 179 H. Guru-guru beliau adalah ulama Madinah, diantaranya adalah Abdur Rahman bin Hurmuz, Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az-Zuhri. dalam bidang fiqih beliau berguru pada Rabi’ah bin Abdur rahman.
3)        Madzhab Syafi’i yaitu madzhab Imam Abdillah bin Idris bin Syafi’i, lahir di Gaza pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Guru pertama beliau adalah Muslim bin Khalid. Madzhab ini terdiri dari dua macam berdasarkan masa dan tempat beliau mukim, yaitu qaul qadim yaitu madzhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Irak, dan qaul Jadid yaitu madzhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir (pindah dari Irak). Beliau merupakan ‘peletak batu pertama’ ushul fiqih dengan karangannya “ar-Risalah”. Dan kitab induknya yang menjadi pedoman madzhabnya adalah kitab ‘al-Umm’.
4)        Madzhab Hanbali, adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, lahir di Marwaz pada tahun 164 H, dan wafat pada tahun 241 H.[24]
b.        Syiah, ada syiah zaidiyah dan imamiyah
c.         Khawarij
d.        Madzhab-madzhab yang telah musnah/lenyap.
Madzhab-madzhab yang lenyap diantaranya adalah madzhab al-Auza’i, al-Zahiri, at-Thabari, al-Laitsi.
Dalam sejarah Islam tidak dapat dipastikan berapa jumlah madzhab yang pernah ada sebelum empat madzhab itu eksis sampai hari ini. Jika Makdisi menyebutkan ada sekitar lima ratus individual madzhab yang lenyap pada awal abad ke 3 H/9 M.
Pada masa tabi’in (diperkirakan muncul pada masa bani Umayyah dan berakhir pada abad ke 2 H) merupakan periode transisi antara sahabat dengan timbulnya imam-imam madzhab (baik dari kalangan Sunni ataupun Syi’ah). Pada periode ini dikenal dengan dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam. Pertama, Rasionalisme, kelompok/golongan/aliran rasio atau dikenal dengan sebutan ahlu ra’yi yang mana dalam menetapkan hukum suatu masalah lebih mengedepankan penalaran/ra’yu (menggunakan metode ijtihad). Mereka berpendapat bahwa hukum-hukum syariat itu tergolong ta’aqquli (bisa dipahami secara akal) yang inti dari penetapan syariat itu adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, jadi penggunaan ra’yu dapat dibenarkan jika tujuannya adalah kemaslahatan. Kelompok ini banyak muncul di Bashrah dan Kufah. Diantara madzhab empat yang termasuk ahl ra’yi adalah Imam Hanafi.
Kedua, tradisionalisme atau ahlu hadis, aliran atau golongan yang bersifat ketat ketika menetapkan suatu hukum masalah dengan lebih mengedepankan hadis daripada penalaran/rasio. Kelompok ini tidak mau bersusah payah encari ‘illat hukum dari penetapan syariat, karena mereka lebih mengandalkan hafalan hadis dan fatwa sahabat sebagai rujukan untuk memahami nash-nash hukum. Bukan erarti mereka tidak mau menggunakan rasio, mereka mau menggunakan jika sudah mendesak dan sangat terpaksa sekali. Diantara madzhab empat yang termasuk ahl hadis adalah Imam Maliki, Imam hanbali, az-Zahiri. Sedangkan madzhab Syafi’i mengambil jalan tengah diantara kedua aliran yang berbeda itu. Hal ini dikarenakan beliau belajar pada tokoh-tokoh kedua aliran itu (baca: Imam Hanafi dan Imam Maliki).
Selanjutnya pada persoalan kedua dalam bab satu buku ini dijelaskan tipologi lembaga-lembaga pendidikan.
2.        Tipologi Lembaga-Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan bagian dari lingkungan pendidikan sebagai wadah atau tempat berlangsungnya pendidikan. Dalam buku Hasbullah yang berjudul ‘Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan’[25] banyak dipaparkan pengertian lembaga pendidikan menurut ahli. Diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara[26] yang terkenal dengan ‘Tri Pusat Pendidikan’ nya, beliau membagi lembaga pendidikan menjadi tiga, pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat.
Ketika menjelaskan tentang jenis ragam lembaga pendidikan Islam, George Makdisi membagi lembaga pendidikan dalam Islam menjadi dua yaitu lembaga pendidikan sebelum madrasah dan madrasah. Kemudian Makdisi membagi lembaga-lembaga sebelum madrasa (pra-madrasah) menjadi dua yaitu lembaga eksklusif (tertutup) dan lembaga inklusif (terbuka).[27]
Sebagaimana disebutkan oleh Zuhairini bahwa dalam dunia Islam sebelum timbulnya sekolah ataupun universitas yang kemudian nantinya dikenal sebagai lembaga formal, telah ada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non-formal.[28]
Hal ini juga senada dengan Abuddin Nata yang juga menyebutkan bahwa lembaga pendidikan Islam di masa klasik dibagi menjadi dua, eksklusif dan inklusif.[29]
a.        Lembaga Eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum
Pada lembaga-lembaga berikut ini tidak diajarkan pengetahuan umum, atau dengan kata lain fokus pada pengetahuan keagamaan saja. Adapun lembaga yang tertutup terhadap pengetahuan umum itu terdiri dari:

1)   Majelis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata majelis berarti kumpulan orang banyak.[30]
Zuhairini dalam bukunya mengartikan majelis dengan saloon kesusasteraan, artinya suatu majelis khusus yang didirikan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Sudah ada sejak masa khulafaur rasyidin yang memusatkan kegiatan di masjid sebagai tempat musyawarah dan tempat diskusi untuk memecahkan persoalan keagamaan. Baru kemudian pada masa dinasti Umayyah, tempat majelis dipindahkan ke istana, dan tak sembarang orang yang dapat masuk kesana. Pada masa Dinasti Abbasiyah majelis kesusastraan ini mendapat perhatian lebih karena memang pada masa ini, umumnya para khalifah mencintai ilmu pengetahuan.[31]
Dengan redaksi berbeda Suwito mengatakan bahwa majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk transmisi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya[32] sebagaimana ragam yang disebutkan Makdisi yang telah penulis sebutkan pada ‘sub-bab isi buku’ diatas. Dalam Abuddin Nata juga disebutkan jenis-jenis majelis:
a)        majlis al-hadis, biasanya diselenggarakan oleh guru ahli hadis.
b)        majlis at-tadris, menunjuk pada majelis selain hadis, seperti fiqih, nahwu, kalam.
c)        majlis al-munazharah, biasanya dipergunakan sebagai sarana untuk perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama.
d)       majlis al-muzakarah, merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadis, kemudian berkembang dan dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan yaitu meliputi sanad hadis, materi, perawi, korelasi hadis dengan bidang ilmu tertentu.
e)        majlis al-syu’ara’, adalah lembaga untuk belajar syair dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
f)         majlis al-adab, adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, laporan bersejarah bagi orang-orang terkenal.
g)        majlis al-fatwa dan al-nazar, merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan.
Pada masa sekarang ini, istilah majelis banyak digunakan dan memiliki beragam makna. Seperti majelis ilmu adalah majelis yang didalamnya terdapat pembahasan tentang keilmuan, majelis dzikir adalah majelis yang dalam kegiatannya lebih banyak berdzikir, majelis taklim adalah suatu organisasi sebagai wadah pengajian. Selain itu ada istilah Majelis Syura (dewan penasehat), Majelis Ulama Indonesia (MUI) yaitu lembaga masyarakat non-pemerintah yang terdiri dari para ulama Islam antara lainm bertugas memberi fatwa. Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang merupakan sebuah lembaga keulamaan yang dideklarasikan pada tahun 2012 dengan tujuan memperkuat lembaga MUI.
2)   Jami’
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk, yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa.[33]
Jami’ maupun masjid keduanya digunakan sebagai sarana untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami’ biasanya memiliki halaqah-halaqah, majelis-majelis dan zawiyah-zawiyah.[34]
Ada perbedaan penting antara jami’ dengan masjid. Jika jami’ dikelola dan dibawah otoritas penguasa atau khalifah, sedangkan masjid tidak berhubungan dengan kekuasaan.[35]
Di Indonesia khususnya kata jami’ disandingkan dengan kata masjid sehingga menjadi istilah masjid jami’ yang menunjukkan bahwa masjid tersebut besar. Seperti Masjid jami’ Baitul Amin yang terletak di pusat kota Jember, Jawa Timur yang merupakan masjid paling besar yang berada di kabupaten Jember. Dan setiap wilayah atau kabupaten pasti ada masjid jami’. Dan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam masjid jami’ dapat dikatakan sudah lebih kompleks dibandingkan dengan masjid-masjid biasa.
3)   Halaqah
Halaqah berasal dari bahasa Arab yang artinya melingkar, membentuk lingkaran.[36] Dalam perkembangan pendidikan Islam merupakan institusi pendidikan Islam setingkat dengan pendidikan tingkat lanjutan atau college, lembaga lanjutan kuttab. Lebih dikenal dengan sebutan sistem/model halaqah.[37] Para murid duduk melingkar mengitari gurunya. Guru membacakan materi dan murid mendengarkan dan menyimak. Biasanya jumlah murid dalam sistem halaqah ini berkisar antara 20 murid.
Adapun proses halaqah adalah sebagai berikut:
a)      Langkah pertama: Syeikh/guru membuka halaqah dengan didahului do’a
b)      Langkah kedua : Syeikh/guru memngemukakan komentar atas topik, tema tertetentu
c)      Langkah ketiga: imla’/dikte dengan penjelasan dari Syeikh/guru
d)     Langkah keempat: diskusi. pada langkah ini mahasiswa didorong untuk bertanya dan mengemukakan pendapat dengan bebas.
e)      Langkah kelima: Syeikh/guru memeriksa catatan yang dibuat mahasiswa, memberi anjuran untuk membaca kitab lain, dan sebagainya. [38]
Pada zaman modern saat ini, sistem atau model halaqah ini masih tetap eksis dipakai di lembaga pondok pesantren.  Selain halaqah ada juga metode sorogan. Jika metode halaqah dikenal dengan pengajaran klasikal sedangkan sorogan lebih dikenal dengan pengajaran individual.[39] Sorogan berasal dari bahasa Jawa ‘sorog’ artinya menyodorkan. Dalam sistem ini seorang murid menyodorkan kitab pada gurunya untuk minta diajari. Dalam proses belajar-mengajar, guru membimbing, memperhatikan sedangkan murid membaca kitabnya sendiri.[40] Biasanya sistem ini dilakukan di pondok pesantren dalam pengkajian kitab kuning. Contohnya metode sorogan yang dilakukan pada pelajaran nahwu di kampus IAIN Jember oleh salah satu dosen nahwu yang bertempat di beranda masjid.
Dalam bahasa Jawa juga dikenal dengan metode atau sistem pengajaran ‘wetonan’ atau bandongan (berasal dari kata ‘bandong’ yang artinya berbondong-bondong). Sistem ini disebut juga dengan metode halaqah. Berbeda dengan sorogan, dalam wetonan santri bersifat pasif.
4)   Maktab dan Kuttab
Adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang diajarkan adalah khat, kaligrafi, al-Quran, akidah dan syair. Maktab/Kuttab diklasifikasikan menjadi dua yaitu maktab/kuttab yang tertutup terhadap ilmu pengetahuan umum dan maktab/kuttab yang terbuka terhadap pengetahuan umum.[41]
Maktab/Kuttab berasal dari kata dasar yang sama yaitu ‘kataba’ yang artinya menulis.[42] Maka Maktab/Kuttab adalah tempat menulis, atau tempat dimana dilangsungkannya kegiatan tulis-menulis.[43]
Menurut sejarah sebelum datangnya agama Islam, masyarakat Arab khususnya di Mekkah telah mengenal adanya lembaga pendidikan rendah, yaitu Kuttab. [44] Kuttab didirikan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dan bertujuan memberikan pendidikan kepada anak-anak.[45] Penduduk Arab yang pagan (penyembah berhala) memanfaatkan adanya kuttab untuk belajar dan membaca berkenaan dengan budaya mereka yang menyenangi dan memberi nilai lebih pada puisi, juga berhitung bagi usaha dagang mereka.[46] Tapi hal itu tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab, hal ini terbukti sampai pada awal periode dakwah Rasulullah di Mekkah hanya 17 orang Quraisy saja yang dapat membaca dan menulis.
Pada awal periode Madinah, oleh Nabi kuttab dijadikan tempat kegiatan pendidikan bagi orang dewasa dengan menjadikan orang non-muslim sebagai guru dan dengan tujuan belajar baca tulis. Sedangkan bagi anak-anak masih merupakan pendidikan non-formal terutama oleh keluarga. Barulah setelah kaum muslim dapat membaca dan menulis, pada masa khulafaur rasyidin kuttab dijadikan lembaga pendidikan dasar dengan pelajaran al-Quran dan dasar-dasar agama Islam. Selain itu juga diajarkan tentang ilmu gramatika bahasa. Murid-muridnya berumur 5-10 tahun.
Sedangkan di Maghribi (sekarang: Maroko) lembaga kuttab lebih menekankan pada pengajaran al-Qur’an, murid-muridnya dilarang belajar yang lain sebelum menguasai al-Qur’an dengan baik. Berbeda dengan Maroko, di Spanyol lembaga Kuttab lebih menekankan pelajaran baca tulis dengan lebih diarahkan pada kemampuan berpuisi dalam bahasa Arab. Di Afrika, kuttab lebih fokus pada pelajaran variasi qira’at, kaligrafi dan hadis. dan terkahir di wilayah Timur sampai ke India memfokuskan kurikulum campuran dengan al-Quran akan tetapi tidak memasukkan kaligrafi sehingga berdampak pada jeleknya tulisan yang mereka tulis.[47]
Syalabi dalam Baharuddin, dkk- mengatakan bahwa institusi kuttab mengalami perkembangan sehingga ada yang mampu menyediakan fasilitas asrama dan akomodasi bagi para muridnya.[48]
Sehingga dengan begitu Hasbullah mengatakan bahwa pada zaman sekarang, khususnya di Indonesia model seperti ini dikenal dengan istilah pondok pesantren.[49] Sebenarnya istilah ‘maktab/kuttab sudah jarang dipakai, di Indonesia. Akan tetapi jika penulis menganalogikan dengan lembaga pendidikan saat ini, maktab/kuttab dapat disamakan dengan madrasah ibtidaiyah atau setingkat dengan sekolah dasar ataupun taman pendidikan al-Quran karena kurikulum kuttab pada zaman dahulu yang masih berkutat pada ilmu baca tulis al-Quran.
5)   Masjid
Makdisi menyatakan bahwa masjid adalah lembaga pendidikan pada masa awal Islam. Pada waktu itu masjid diberi nama sesuai dengan orang yang mengajar di dalamnya seperti ‘masjid Rasulullah’ karena Rasulullah langsung yang mengajar dalam masjid itu. Masjid Syafi’i yang terletak di Jl.Saffron di baghdad, Masjid Qadi Abu Hassan az-Ziyadi, masjid Abu Bakar as-Syafi’i, masjid Di’lij, masjid Abu Sahl as-Su’luki, masjid al-Baiyi’ dan lain-lain. [50] Pada abad ke 2 H/8 M, dalam masjid juga telah diajarkan tentang nahwu dan filologi[51].
Suwito mengatakan dalam bukunya bahwa masjid merupakan institusi pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi SAW.[52] Selain itu Baharuddin, dkk juga mengatakan dalam bukunya bahwa masjid dapat diklaim sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tertua dalam Islam.[53]
Kita sebagai umat Islam tentu telah mengetahui bahwa semenjak berdirinya, masjid telah dijadikan sebagai pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah adalah masjid Quba, tentu ia telah dijadikan sebagai tempat pengkajian keilmuan khususnya yang berkaitan dengan masalah kaum muslimin yang pastinya Rasulullah saw bertindak sebagai mu’allim. Akan tetapi beberapa sumber mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam pertama adalah ‘bait’ (rumah). Yang dimaksud rumah adalah rumah Arqam bin Abi al-Arqam.[54] Rumah itu digunakan sebagai tempat berkumpul orang-orang muslim yang pertama masuk Islam (ketika Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi), mungkin ini salah satu alasan Makdisi tidak menyinggung bait al-Arqam (rumah Arqam) sebagai lembaga pendidikan dalam bukunya begitu juga shuffah.
Di Indonesia terdapat istilah masjid agung dan masjid jami’.[55] Masjid juga tidak hanya dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah, akan tetapi sebagai pusat pengkajian keislaman seperti kajian kitab kuning, sebagai lembaga pendidikan al-Quran dari tingkat anak-anak hingga orang tua. Dengan banyak dilengkapi berbagai fasilitas pendidikan. Tak sedikit juga yang dilengkapi dengan perpustakaan didalamnya. Masjid yang tersebar di hampir seluruh daerah, bahkan ada daerah yang dijuluki sebagai kota seribu masjid, membuat masyarakat Indonesia yang tak sedikit jumlahnya tidak merasa kesulitan mengakses tempat ibadah sekaligus tempat belajar. Biasanya sebuah masjid yang terletak di desa maupun kota memiliki ‘ta’mir’ atau pengurus, dengan adanya ‘ta’mir masjid’ diharapkan pengelolaan masjid dapat maksimal. Selain itu ada juga ‘remaja masjid’ yang dibentuk untuk melatih generasi muda Islam  dalam pengelolaan kegiatan di masjid.
Berbicara masalah lain dari masjid, kini banyak fenomena masjid dipoles agar lebih menarik dan indah dengan tujuan awal agar masyarakat lebih bersemangat dalam melakukan ibadah kepada Allah swt, akan tetapi penulis menganggap bahwa fenomena itu seperti suatu ajang perlombaan agar masjid banyak dikunjungi bukan untuk tempat ibadah akan tetapi sebagai tempat rekreasi, bisa dikatakan hanya untuk kepentingan komersil semata. Bahkan masjdil haram di Makkah pun kini didesain menyerupai kota Las Vegas yang ada di Amerika. Semoga kita selalu diberi petunjuk oleh-Nya.
Selain masjid di negara kita juga terdapat surau atau ada yang menyebut dengan sebutan ‘langgar’. Merupakan sebuah tempat yang memiliki fungsi seperti masjid yakni selain digunakan sebagai tempat shalat berjamaah juga dijadikan sebagai tempat kegiatan keagamaan masyarakat dan pendidikan dasar keislaman.
6)   Zawiyah
Kata zawiyah berarti sudut masjid, yang digunakan untuk iktikaf (berdiam diri) dan beribadah. Berasal dari bahasa Arab yaitu akar kata dari ‘inzawa-yanzawi’ artinya mengambil tempat tertentu, atau sudut tertentu untuk manjalankan i’tikaf dan mensyiarkan agama. Di wilayah Maghribi, zawiyah dibangun untuk kepentingan lain yaitu sebuah masjid khusus untuk sekelompok kaum sufi atau tempat pemakaman salah seorang wali. [56]
7)   Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko[57], juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum islam di suatu masjid[58], selain itu juga berfungsi sebagai tempat belajar privat.
Pada zaman sekarang, jika khan dianalogikan maka sama halnya dengan toko buku. ataupun lembaga-lembaga pendidikan privat/les.
b.        Lembaga Pendidikan Inklusif (terbuka) terhadap Pengetahuan Umum
Di Indonesia lembaga inklusif terdapat dalam peraturan menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberi kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istemewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Jika dilihat dari kedua pengertian inklusif diatas, dapat dikatakan bahwa maksud lembaga inklusif yang dikatakan oleh Makdisi berbeda dengan pendidikan inklusif yang ada di negara kita. Jika  lembaga inklusif menurut Makdisi adalah lembaga pendidikan yang didalamnya sudah diajarkan pengetahuan umum, yang mana sebelumnya adalah lembaga eksklusif atau tertutup yaitu lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan pengetahuan keagamaan islam saja.
Makdisi menyebutkan  lembaga yang termasuk kategori inklusif ada dua, yaitu perpustakaan dan rumah sakit.
1)        Perpustakaan
Makdisi menyebutkan bahwa sejarah perpustakaan dibagi menjadi dua periode:
a)        periode bait al-hikmah
Didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun, dan juga dikenal sebagai ‘khizanat al-hikmah’.
Suwito menyatakan bahwa perpustakaan merupakan salah satu ciri-ciri penting masa Dinasti Abbasiyah. Menurutnya perpustakaan ada yang bersifat umum dan khusus. Bersifat umum adalah didirikan pemerintah dan yang bersifat khusus adalah didirikan oleh para sarjana ataupun ulama. Jika Makdisi mengatakan bahwa yang mendirikan bait al-hikmah adalah khalifah al-Ma’mun, sedangkan Suwito mengatakan bahwa bait al-hikmah didirkan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Khalifah al-Ma’mun.
Bait al-hikmah adalah salah satu perpustakaan milik Islam yang paling lengkap. Didalamnya banyak sekali terdapat buku-buku ilmu pengetahuan termasuk buku-buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibti, dan Aramy.
b)        periode Dar al-‘Ilmi
Dar al-‘ilmi didirikan oleh Abu al-Qasim Ja’far bin Muhammad bin hamdan al-Maushuli di Mosul. Perpustakaan ini sudah dilengkapi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, perpustakaan ini diwaqafkan pada para penuntut ilmu. Jika ada penuntut ilmu yang berasal dari daerah yang jauh kemudian mereka akan diberi buku-buku dan bekal yang cukup. Sering sekali pendirinya, Ja’far berada di perpustakaannya dan membacakan syair-syair gubahannya sendiri.[59]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perpustakaan adalah ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.[60]
Dalam negara kita khusunya, perpustakaan secara umum memiliki arti sebagai sebuah tempat koleksi buku, majalah ataupun media cetak lain yang bersifat ilmu pengetahuan, hiburan, rekreasi, bahkan ibadah. Semakin berkembangnya teknologi, begitu pula perpustakaan. Sesuai perkembangannya pada masa modern ini perpustakaan tidak hanya sebagai tempat koleksi buku atau majalah akan tetapi berkembang pada tempat untuk mengakses informasi  dalam format apapun. Sebagai tempat penyimpanan  seperti peta, kaset, film dokumentasi sejarah, CD-ROM, DVD, tape video, dan sebagainya. Juga terdapat bentuk dari perpustakaan modern yang disebut “digital library” atau perpustakaan digital yang mana data bisa diakses lewat jaringan komputer.
Di negara kita, perpustakaan memiliki banyak jenis, perpustakaan pusat milik negara atau disebut dengan perpustakaan nasional/national library (disingkat perpusnas), juga telah memiliki versi digital, yang mana kita hanya tinggal mengakses pada alamat http://perpusnas.go.id. Selain perpusnas, ada juga perpustakaan umum untuk masyarakat secara umum, perpustakaan khusus yang hanya terdapat pada suatu instansi tertentu misalkan perpustakaan Bank Indonesia yang terletak di dalam Bank Indonesia itu sendiri, perpustakaan wilayah, yang letaknya pada setiap kabupaten di seluruh negara Indonesia. Dikenal dengan sebutan perpusda, singkatan perpustakaan daerah karena letaknya pada daerah. Contohnya di kabupaten Jember terdapat perpusda yang terletak di Jl. Letjend Panjaitan No.49 Jember. Selain itu jenis perpustakaan yang lain seperti perpustakaan perguruan tinggi dan sekolah. Jadi pada setiap lembaga pendidikan sekolah baik negeri maupun swasta diwajibkan memiliki perpustakaan. dan terakhir perpustakaan keliling yang menggunakan alat transportasi untuk membawa koleksi buku dan berkeliling.
2)        rumah sakit
Makdisi menyebutkan bahwa rumah sakit merupakan sekolah yang didalamnya diajarkan tentang pengobatan. Disebutkannya bahwa Ibn Abi Usaibi’a (w. 668 H/1270 M) mengajarkan tentang pengobatan di rumah sakit ‘Adudi, yang mana rumah sakit itu dibangun oleh Buwaihid ‘Adud ad-Daula (rumah sakit ini terletak di Baghdad dan mulai beroperasi pada abad ke 5 H/11 M).
Sebagaimana juga Suwito menyebutkan dalam bukunya bahwa pada masa Abbasiyah rumah sakit tidak hanya dijadikan sebagai tempat merawat orang sakit tetapi juga sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan keperawatan ataupun pengobatan.[61]
Selain itu Zuhairini juga menyebutkan bahwa pada masa kejayaan Islam, untuk menyejahterakan umat Islam, para khalifah membangun rumah-rumah sakit selain berfungsi untuk merawat dan mengobati orang sakit juga sebagai tempat penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan farmasi.[62]
Hal ini benar adanya dan berlaku hingga masa sekarang, khususnya di negara kita dimana rumah sakit dijadikan tempat pendidikan seperti magang atau praktek bagi mereka yang belajar pada jurusan keperawatan, kebidanan, kedokteran. Baik rumah sakit milik pemerintah maupun swasta. Bahkan selain rumah sakit juga terdapat lembaga kesehatan yang disebut puskesmas[63], yang juga dijadikan tempat magang atau praktek pendidikan. Contoh konkretnya adalah RS dr.Soebandi di Patrang, Jember, Jawa Timur yang dijadikan tempat magang atau praktikum dari fakultas kedokteran Universitas Negeri Jember. Jadi dapat disimpulkan bahwa sejak masa kejayaan Islam, rumah sakit sudah dijadikan sebagai tempat belajar/lembaga pendidikan.
c.         Madrasah dan Lembaga Yang Asalnya Sama (Cognate Institutions)
Madrasah dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan “par excellence”, artinya lembaga pendidikan yang sangat menonjol.[64]
Darwis dalam Buharuddin- mengatakan bahwa madrasah adalah bangunan yang digunakan untuk belajar dan sebagai tempat tinggal bagi guru dan murid, umumnya dilengkapi dengan sebuah perpustakaan.[65] Disebutkan Baharuddin bahwa di madrasah ini meskipun sudah diajarkan pengetahuan umum seperti sejarah, geografi akan tetapi ilmu-ilmu keagamaan masih menjadi primadona.[66]
Abuddin menyebutkan bahwa dalam sejarah madrasah mulai muncul pada zaman khalifah Dinasti Abbasiyah, sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan tempat lainnya. Dengan tujuan pendiriannya adalah untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan ideologi tertentu[67], sebagaimana terjadi pada madrasah Nizamiyah.
Sedangkan dalam ensiklopedi mini sejarah dan kebudayaan Islam dikatakan bahwa pada abad ke 4 H/10 M, nama madrasah menggantikan halaqah, yaitu lembaga pendidikan tinggi setelah kuttab. Adapun proses atau langkah-langkah halaqah sebagaimana dipaparkan dalam sub bab halaqah sebelumnya.
Berikut ini dipaparkan fakta mengenai kapan dimulainya pengembangan madrasah dan orang yang menjadi pelopor:
1.        Pada masa kekuasaan dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Nishapur (meliputi Irak, Afghanistan, dan daerah yang berpenduduk muslim bekas Uni Sovyet), kebudayaan telah berkembang dengan semarak dan madrasah sudah tersebar sepanjang abad ke 4 H/10M.
2.        Pada masa kekuasaan dinasti Saljuk (429-454 H/932-1062 M), ketika perdana menteri dipegang oleh Nizam al-Mulk (dari tahun 456-485 H/1064-1092 M) membangun madrasah di semua wilayah kekuasaannya (Nishapur, Khurasan, dan Irak) hingga mencapai 12 madrasah. Sehingga ia dijuluki pelopor pembangun madrasah secara besar-besaran dan madrasah yang dibangunnya disebut dengan Madrasah Nizamiyah.
3.        Abu Sa’ad, menteri keuangan Sultan Alf Arslan untuk mengenang jasa Abu Hanifah membangun madrsah di samping makam Imam Abu Hanifah dan diberi nama Madrasah Imam Abu Hanifah dan madrasah ini dikhususkan untuk yang bermadzhab Hanafi.
4.        al-Mustanshir, salah satu khalifah Bani Abbasiyah yang berkuasa selama 17 tahun (623-640 H/1226-1242 M), sepuluh tahun dari masa kekuasaannya digunakan untuk membangun madrasah dan diberi nama Madrasah al-Mustanshiriyah, Baghdad. Madrasahnya ini digunakan untuk pengembangan semua madzhab.
5.        Raja al-Mansur Qalawun (berkuasa dari 678-689 H/1280-1290 M), rumpun raja-raja Mamluk mendirikan madrasah di Kairo, Mesir dan terkenal dengan nama Madrasah al-Manshuriyah. Di madrasahnya diajarkan fiqih sesuai dengan madzhab empat, hadis, tafsir ilmu kedokteran, dan ceramah-ceramah umum.[68]
Adapun kurikulum madrasah pada periode awal sangat bervariasi yang terkelompokkan menjadi tiga kelompok keilmuan dan dari ketiga kelompok ini, ilmu keagamaanlah yang dijadikan kurikulum madrasah:
1.        ilmu keagamaan dengan ilmu fiqih sebagai induknya,
2.        ilmu klasik yang berasal dari Yunani (seperti ilmu fisika, filsafat, kedokteran, astronomi, dll),
3.        ilmu sastra dan bahasa Arab sebagai penunjang.[69]
Jika dikaitkan dengan pendidikan saat ini khususnya di Indonesia, madrasah memang termasuk lembaga pendidikan yang bersifat formal. Istilah madrasah berasal dari bahasa arab yang artinya disamakan dengan sekolah.[70] Di negara kita madrasah dikhususkan sebagai sekolah (umum) yang kurikulum mata pelajarannya tentang keislaman. Madrasah Ibtidaiyah adalah istilah sekolah yang setara dengan ada Sekolah Dasar (SD), Madrasah Tsanawiyah setara dengan Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Aliyah setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Selain lembaga-lembaga pendidikan yang disebutkan Makdisi diatas ada beberapa jenis lembaga pendidikan Islam yang lain seperti:
a)        toko buku, memiliki peran penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku akan tetapi pada perkembangan selanjutnya menjadi sarana berdiskusi dan berdebat.[71] Di Baghdad terdapat 100 toko buku pada zaman khalifah al-Ma’mun.[72]
Jika dikaitkan dengan toko buku pada masa modern saat ini, sama halnya dengan peran toko buku pada masa lampau, tidak hanya menjual buku terkadang toko buku seperti “Gramedia” juga mengadakan berbagai macam lomba seperti lomba menulis, mewarnai, bahkan fashion show batik nusantara misalnya.
b)        istana
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, istana berarti rumah kediaman resmi raja, kepala negara, presiden dan keluarganya.[73] Selain menjadi tempat tinggal para raja, pada zaman Islam khususnya pada masa Dinasti Abbasiyah istana juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan akan tetapi hanya orang-orang istana saja yang dapat masuk kedalamnya.
c)        rumah-rumah para ulama, pada zaman klasik para ulama dengan ikhlas menjadikan rumah pribadinya sebagai tempat belajar. Pada umumnya hal tersebut dikarenakan sang guru yang tidak memungkinkan mengajar di lembaga seperti masjid. Seperti rumah Imam al-Gahzali, Ibnu Sina, Ali bin Muhammad al-fasihi.
Pada masa sekarang, kita dapat mencontoh salah satu orang yang karena keterbatasannya tetap mengabdi pada anak bangsa. Seperti halnya Ibu Een Sukaesih, seorang guru tanpa tanda jasa yang mengalami kelumpuhan dan menyebabkannya terus berbaring selama puluhan tahun. Singkat kata, meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya, dia menjadikan kamar tidurnya sebagai tempat belajar anak-anak di sekitar rumahnya. Beliau mendapat gelar “guru kalbu”. Dari beliau harusnya kita sebagai pendidik dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi.
d)       ribath, biasanya dihuni oleh orang-orang miskin. Merupakan salah satu lembaga pendidikan untuk para sufi. Yaitu tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan pada ibadah semata.[74] Setelah madrasah muncul, banyak sekali madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath.
e)        badiah, sebagai lembaga pendidikan badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama pergi ke badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan Arab.
f)         shuffah, adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin.
D.      Penutup
Adapun kesimpulan berdasarkan pembahasan diatas adalah bahwa perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi sejak masa Islam awal perbedaan pendapat tersebut sudah terjadi. Perbedaan terjadi karena adanya ciri dan pandangan yang berbeda dari setiap madzhab dalam memahami agama Isam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita sebagai umat Islam harus bisa memahami, terbuka dan bijaksana dalam memandang perbedaan, sehingga dapat dikatakan bahwa berbeda itu tidak selalu identik dengan bertentangan selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan Islam adalah satu dalam keragaman.
Timbulnya madrasah sebagai lembaga formal dalam dunia Islam semata-mata merupakan bentuk pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pengajaran didalamnya.
Demikianlah, tulisan ‘chapter review of book “The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West’ yang ditulis oleh George Makdisi ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Selain menambah wawasan, penulis menyarankan bahwa buku karangan Makdisi ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam pendidikan khususnya program studi Pendidikan Agama Islam. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

E.       Daftar Pustaka
Abuddin Nata. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam Terj.M.Arifin. Jakarta: Rineka Cipta.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1996. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak.

Baharuddin dkk. 2011. Dikotomi pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hasbullah. 2012. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hasbullah. 20   . Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Huzaemah Tahido Yanggo. 2003. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos.
Karya,  H. Soekama. 1996. Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos wacana Ilmu.
Khalil, Munawir. t.tt. Biography Empat Serangkai Imam Madzhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly). Jakarta: Bulan Bintang.

Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Munawir, A.W. 1997. Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Nata, Abuddin. 2013. Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: Rajawali Press.

Suwito. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Sukarno. 2012. Metodologi Pembelajaran PAI. Surabaya: Elkaf.
Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Zuhairini, dkk. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


[1]Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), xiii.
[2][2]Makdisi, The Rise ..., 1.
[3]Makdisi, The Rise..., 2.
[4]Ibid., 2.
[5]Ibid., 3.
[6]Makdisi, The Rise..., 3.
[7]Ibid., 4-6.
[8]Ibid., 6-7.
[9]Makdisi, The Rise..., 11.
[10]Ibid., 13.
[11]Ibid., 17.
[12]Ibid., 19.
[13]Ibid., 21.
[14]Makdisi, The Rise..., 23-24.
[15]Ibid., 24-25.
[16]Ibid., 27.
[17]Ibid., 27-34.
[18]Makdisi, The Rise..., 30.
[19]Ibid., 27.
[20]Ibid., 32.
[21]A.W.Munawir, Kamus al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 453.
[22]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 1677.
[23]Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos, 2003),  .
[24]Selengkapnya baca Munawir Khalil, Biography Empat Serangkai Imam Madzhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly) (Jakarta: Bulan Bintang, t.tt).
[25]Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 33.
[26]Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 adalah tokoh pendidikan Indonesia, beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia sekaligus pendiri “Taman Siswa”. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959. Baca Hasbullah, Dasar-Dasar..., 266-268.
[27]Makdisi, The Rise..., 9-10.
[28]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 89.
[29]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 32.
[30]Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 699.
[31]Pada masa Dinasti Abbasiyah khususnya khalifah Harun al-Rasyid, majelis sastra ini tidak hanya mengajarkan tentang kesusatraan saja akan tetapi juga dalam bidang kesenian dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Pada masa beliau sering diadakan perlombaan antar ahli syair, debat antar fuqaha dan diskusi antar sarjana. Lihat Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, 95.
[32]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 28.
[33]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan..., 38.
[34]Ibid., 38.
[35]Penguasa atau khalifah memiliki otoritas yang kuat dalam hal pengelolaan seluruh aktivitas jami’, seperti kurikulum, pendidik, pembiayaan dan sebagainya. Namun demikian, baik jami’ maupun masjid termasuk lembaga pendidikan setingkat college. Kurikulum pendidikan di masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah seperti hakim, khotib, dan imam masjid. Lihat Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan...., 38.
[36]A.W.Munawir, Kamus al-Munawwir..., 290.
[37]Suwito, Sejarah Sosial ..., 28.
[38]H. Soekama Karya,  Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1996), 77.
[39]Lihat Sukarno, Metodologi Pembelajaran PAI (Surabaya: Elkaf, 2012), 125 dan 148.
[40]Soekama, Ensiklopedi Mini..., 124.
[41]Suwito, Sejarah Sosial ..., 27.asa
[42]A.W Munawir, Kamus al-Munawir..., 1187.
[43]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam..., 98.
[44]Baharuddin dkk, Dikotomi pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 210.
[45]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2011), 98.
[46]Soekama, Ensiklopedi Mini..., 75.
[47]Soekama, Ensiklopedi Mini..., 75.
[48]Baharuddin dkk, Dikotomi pendidikan Islam, 211.
[49]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 23.
[50]Makdisi, The Rise..., 21.
[51]Filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 317.
[52]Suwito, Sejarah Sosial..., 28.
[53]Baharuddin, dkk, Dikotomi Pendidikan Islam, 214.
[54]Di rumah ini, para sahabat berkumpul untuk membaca al-Quran, memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah melalui cara mudarasah dan tadarus.
[55]Masjid agung adalah masjid besar dengan angunan megah dan luas dan dapat menampung ratusan jamaah. Masjid jami’ adalah masjid utama (untuk salat beramai-ramai pada hari Jum’at, dsb). Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 719.
[56]Selengkapnya baca Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam Terj.M.Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 33.
[57]Contohnya khan al-Narsi yang terletak di alun-alun Karkh, Baghdad.
[58]Contohnya khan yang dibangun oleh Di’lij bin Ahmad bin Di’lij pada akhir abad ke-10 M di Suwaiqat Ghalib dekat maqam Suraij. Lihat Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: Rajawali Press, 2013), 39.
[59]Baharuddin, dkk, Dikotomi..., 219.
[60]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 912.
[61]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 103.
[62]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, 97-98
[63]Puskesmas singkatan dari Pusat Kesehatan Masyarakat. Merupakan unit pelaksana teknis kesehatan di bawah supervisi Dinas Kesehatan (DinKes) Kabupaten/Kota. dan sasarannya masyarakat umum secara luas.
[64]Makdisi, The Rise..., 27.
[65]Baharuddin, dkk, Dikotomi..., 220.
[66]Ibid., 221.
[67]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 160.
[68]Soekarma, Ensiklopedi Mini..., 79.
[69]Soekarma, Ensiklopedi Mini..., 79.
[70]Madrasah berasal dari akar kata bahasa Arab ‘darasa’ yang artinya belajar kemudian menjadi ‘madrasah’ yang berkedudukan sebagai isim makan (keterangan tempat) yang artinya tempat belajar atau sekolah.
[71]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan islam: Pada Periode..., 40.
[72]Suwito, Sejarah Sosial..., 28.
[73]Tim Penyusun, Kamus Besar..., 445.
[74]Suwito, Sejarah Sosial..., 28.


0 komentar:

Posting Komentar