EPISTEMOLOGI
BAYANI DAN BURHANI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Fakhriyatus Shofa Alawiyah
NIM. 084 9315 003
Dosen Pengampu:
Dr. Muniron, M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(PPs IAIN)
JEMBER
Oktober, 2015
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................
i
DAFTAR
ISI.............................................................................................. ii
DAFTAR
TABEL..................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................
1
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah...............................................................................
2
C.
Tujuan.................................................................................................
2
BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................
3
A. Epistemologi Bayani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.
Perkembangan
Epistemologi Bayani..........................................
3
2.
Sumber
Pengetahuan..................................................................
7
3.
Konsep Lafadz
dan Makna........................................................
7
4.
Cara
Mendapatkan Pengetahuan...............................................
14
5.
Implikasi
Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam...... 15
B. Epistemologi Burhani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.
Perkembangan Epistemologi
Burhani........................................
16
2.
Bahasa dan
Logika.....................................................................
18
3.
Silogisme
Burhani......................................................................
19
4.
Peran bagi
Epistemologi Selanjutnya.........................................
23
5.
Implikasi
Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam..... 24
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.........................................................................................
26
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................
28
DAFTAR TABEL
No
|
Uraian
|
Hal
|
1
|
Skema Epistemologi Bayani
|
16
|
2
|
Skema Epistemologi Burhani
|
25
|

BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Epistemologi
merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang di dalamnya meliputi
pembahasan tentang hakikat ilmu pengetahuan manusia.[1]
Jika dihubungkan dengan ilmu, cabang kajian filsafat ini untuk menjawab
pertanyaan seperti apa saja sumber-sumber pengetahuan, apa saja alat yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan, metode apa yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan serta bagaimana batasan pengetahuan.
Supriyanto
menyebutkan bahwa basis atau landasan bagi epistemologi ilmu adalah “metode
ilmiah” dengan hasil kajian berupa teori, prinsip serta hukum ilmu pengetahuan.[2]
Singkatnya,
epistemologi dapat diartikan sebagai cara mengetahui kebenaran. Mengenai hal
ini, dalam bukunya Ayi menyebutkan bahwa pemikir-pemikir Islam sepakat bahwa
ada tiga alat epitemologi dalam diri manusia, pertama, indera, kedua,
akal, dan ketiga hati. Yang kemudian ketiga alat epistemologi ini
menghasilkan tiga cara/metode juga dalam memperoleh pengetahuan. Ketiga metode
tersebut meliputi metode observasi, demonstratif, dan intuitif.[3]
|
Ketiga metode di atas memiliki istilah tersendiri dalam filsafat
Islam, pertama, metode observasi sebagaimana dikenal dalam epistemologi
Islam dengan sebutan metode bayani dengan menggunakan teks/nash
sebagai alat mengetahui atau memperoleh pengetahuan. Kedua, metode
demonstratif yang lebih dikenal dengan sebutan metode burhani dalam
epistemologi Islam dan menggunakan akal sebagai alat mengetahui atau memperoleh
pengetahuan. Dan yang ketiga yaitu metode intuitif atau lebih dikenal
dengan sebutan metode ‘irfani dan
alat yang digunakan untuk mengetahui atau memperoleh pengetahuan adalah hati.
Pendidikan
Islam merupakan sistem pendidikan yang memiliki ciri-ciri tertentu dimana wahyu
Allah, ditempatkan sebagai pemberi petunjuk ke arah mana pendidikan itu
digerakkan.[4]
Ketiga epistemologi Islam diatas pasti memiliki pengaruh yang besar terhadap
perkembangan pendidikan Islam. Seperti melahirkan cabang-cabang keilmuan baru.
Oleh karena
itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan dua dari tiga epistemologi Islam
di atas. Yaitu metode bayani dan burhani saja. Yang pembahasannya
meliputi pengertian metode bayani dan burhani serta masing-masing
implikasinya terhadap pendidikan Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan
epistemologi bayani?
2.
Bagaimana implikasi epistemologi bayani
terhadap pendidikan Islam?
3.
Apa yang dimaksud dengan
epistemologi burhani?
4.
Bagaimana implikasi epistemologi burhani
terhadap pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mendeskripsikan tentang
epistemologi bayani.
2.
Untuk mendeskripsikan tentang implikasi
epistemologi bayani terhadap pendidikan Islam.
3.
Untuk mendeskripsikan tentang
epistemologi burhani.
4.
Untuk mendeskripsikan tentang implikasi
epistemologi burhani terhadap pendidikan Islam.


PEMBAHASAN
Dalam
filsafat Islam, al-Jabiri[5]
membagi tipologi epistemologi Islam menjadi tiga, bayani, burhani
dan ‘irfani sebagaimana ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993), di
dalamnya secara luas beliau menjelaskan nalar tradisi Arab. Muslih menyatakan
bahwa al-Jabiri lebih cenderung kepada epistemologi burhani, menurutnya
karena epistemologi ini lebih dianaktirikan dibandingkan dengan bayani
ataupun irfani.[6]
Berikut
ini akan dipaparkan kedua epistemologi yang akan menjadi fokus kajian makalah
ini, yaitu epistemologi bayani dan burhani serta masing-masing
implikasinya terhadap pendidikan Islam.
A.
Epistemologi Bayani
dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.
Perkembangan
Epistemologi Bayani
Sebagaimana
dipaparkan dalam latar belakang di atas, epistemologi bayani merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan menjadikan teks atau nash sebagai
otoritas dasar.
Secara umum, kata al-bayan berasal dari bahasa Arab yang
senada dengan kata al-syarhu, al-idhohu artinya penjelasan,
keterangan.[7]
Sedangkan Ahli ushul fiqih (ushulliyun) mengartikan bayan sebagai
upaya menyingkap makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan
secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf.
Maksudnya usaha untuk menjelaskan suatu ungkapan agar menjadi jelas.
Secara
etimologis, al-Jabiri memberikan pengertian untuk kata al-bayan sebagai
metode (al-fasl wa al-infishal) dan sebagai visi (al-dzuhur wa
al-idzhar).[8]
Secara terminologis, kajian bayani terbagi menjadi dua:
a.
Aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin
al-tafsir al-khithabi)
b.
Syarat-syarat memproduksi wacana (syurut
intaj al-khithabi).[9]
Makna-makna
terminologis diatas muncul pada masa kodifikasi (tadwin).[10]
Asal-usul bayani
paling tidak sudah dimulai pada masa Rasulullah, yakni proses perkembangan
pemaknaan bayani seiring dengan tradisi Arab-Islam, yang awalnya budaya
lisan/riwayat sahabat menjadi budaya tulis dan nalar. Pada waktu itu, Rasulullah
saw menjelaskan ayat yang belum sahabat pahami, kemudian para sahabat
menafsirkan ketetapan yang diberikan Rasulullah melalui teks, selanjutnya para tabi’in
mengumpulkannya serta menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar atau ijtihadnya
dengan teks sebagai pedoman utama mereka. Kegiatan penafsiran seperti itu terus
berlanjut hingga generasi berikutnya.
Menurut
al-Jabiri sebagaimana diungkapkan oleh Muslih dalam bukunya bahwa proses
peletakan aturan penafsiran wacana dalam bentuk yang baku dan tidak hanya pada
aspek bahasanya saja sebenarnya diterapkan untuk pertama kalinya oleh Imam
Syafi’i[11]
(w.204 H). Menurut beliau, bayani adalah nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke furu’
(cabang). Sedangkan dari segi metodologi, beliau membagi bayan menjadi
lima tingkatan.[12]
Yang kemudian dari kelima tingkatan bayan tersebut Imam Syafi’i merumuskan
empat dasar pokok agama, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Kemudian dalam
perkembangannya, al-Jahizh muncul sebagai kritik dari pendapat Imam Syafi’i
tentang bayani. Menurutnya konsep bayani Imam Syafi’i masih tahap
bagaimana memahami teks/nash belum sampai pada tahap bagaimana memberi
pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Bayani menurut
al-Jahizh adalah bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana melainkan sudah
sebagai syarat-syarat untuk menghasilkan wacana bahkan sebagai alat untuk
memenangkan sebuah perdebatan. Beliau menawarkan beberapa syarat bagi bayani:
(1) syarat kefasihan ucapan, (2) seleksi huruf dan lafadz, (3) keterbukaan
makna, (4) keindahan.[13]
Kemudian
konsep al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis sehingga muncul Ibnu
Wahhab[14]
yang menyatakan bahwa bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar akan
tetapi merupakan sebuah metode untuk membangun konsep diatas ushul-furu’ dengan
cara menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqih dan kalam. Cara tersebut
dilakukan karena dipengaruhi oleh adanya usaha untuk meredam ketegangan antara
fiqih dan filsafat yang terjadi pada saat itu.
Menurut Ibnu
Wahhab, ada empat macam bayan, masing-masing berfungsi menjelaskan sesuatu: (1)
bayan al-I’tibar, berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan
materi, (2) bayan al-I’tiqod berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan
dengan hati, (3) bayan al-‘ibaroh, berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang
berkaitan dengan teks dan bahasa, (4)
bayan al-kitab berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan
konsep-konsep tertulis.[15]
Pada periode
terakhir muncul al-Syatibi[16]
memperbarui epistemologi bayani. Menurutnya bayani belum dapat
memberikan pengetahuan yang qoth’i (pasti), tapi baru derajat dzonni
(dugaan) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam bayani
terdapat dua teori utama, yaitu istinbath dan qiyas. Keduanya
masih bersifat dzonni, padahal penetapan hukum harus bersifat qoth’i
sehingga beliau menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani.[17]Yaitu
(1) al-Istintaj, sama dengan silogisme yaitu menarik kesimpulan
berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang
menyandarkan furu’ pada ushul, yang dianggap tidak menghasilkan
pengetahuan baru. Menurut al-Syathibi
pengetahuan Bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme,
karena semua dalilnya mengandung dua premis (nadzoriyah atau premis
minor yang berbasis pada indera, rasio, penelitian, penalaran dan naqliyah
atau premis mayor yang berbasis pada proses transmisi. (2) al-Istiqra’, atau disebut juga tematic education
merupakan penelitian terhadap teks/nash yang se-tema kemudian diambil tema
pokoknya. (3) Maqashid al-syar’i merupakan diturunkannya syariat itu
memiliki tujuan tertentu, yaitu ada tiga: (a) tujuan primer (dharuriyah),
(b) tujuan sekunder (hajiyah), (c) tujuan tersier (tahsiniyah).[18]
Pada periode ini,
metode bayani lebih sistematis dan sempurna, akan tetapi yang harus
digarisbawahi adalah meskipun telah menggunakan rasio akan tetapi metode bayani
tetap berpijak pada teks/ nash.
Berdasarkan
aspek historis nalar Arab, sehingga kemudian al-Jabiri menggunakan istilah al-bayan
sebagai nama salah satu epistemologi yang menurutnya untuk menguasai budaya
Arab-Islam didasarkan pada keyakinan beragama, dalam hal ini Islam kemudian
dibangun berdasarkan nash/teks, ijma’ dan ijtihad.
Sehingga hasilnya terdapat dalam beberapa disiplin ilmu, seperti fiqih, ilmu
kalam, ilmu nahwu, ilmu balaghoh dan beberapa disiplin keilmuan lainnya.
Jadi, dalam
epistemologi bayani sebenarnya terdapat penggunaan rasio, akan tetapi
masih relatif sedikit dan masih sangat tergantung pada teks yang ada.
Epistemologi ini menempatkan akal sebagai sumber sekunder.
2.
Sumber
Pengetahuan
Meskipun al-Syathibi
menggunakan silogisme akan tetapi epistemologi bayani tetap berpijak pada teks/nash.
Dalam ilmu ushul fiqh yang dimaksud dengan nash sebagai sumber
pengetahuan bayani ada dua yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Oleh sebab itu
metode bayani menaruh perhatian yang besar pada proses transmisi teks
dari generasi ke generasi. Apakah proses transmisi teks itu benar atau tidak
sehingga pada masa tadwin muncul Imam Bukhori mensyaratkan diterimanya sebuah
teks hadis sehingga muncul ilmu seperti mustholah al-hadis, rijal
al-hadis, al-jarh wa at-ta’dil.
Sumber utama
pengetahuan bayani adalah al-Quran, meskipun begitu nash al-Quran dibagi
menjadi qoth’i dan zhanni. Sebaliknya petunjuk yang zhanni
adalah nash yang menunjukkan atas makna yang membutuhkan takwil. Begitu
pula as-Sunnah atau hadis juga memiliki konsep qoth’i dan zhanni,
bukan hanya dari segi dilalahnya tapi juga riwayat.[19]
3.
Konsep Lafadz
& Makna, Ushul & Furu’, Substansi & Aksidensi
Tidak terlepas
dari bahwa epistemologi Bayani berkaitan dengan teks/nash dan berhubungan
dengan realitas maka terdapat tiga persoalan pokok di dalamnya[20],
yaitu:
a.
Konsep Lafadz
& Makna
Kaitannya dengan lafadz dan makna, pembahasan
ini meliputi dua aspek:
1)
aspek teoritis (nadzari)
Aspek ini
lebih memfokuskan pada pembahasan seputar bahasa. Dalam aspek ini ada tiga
permasalahan yaitu:
a)
apakah makna suatu lafadz
didasarkan pada istilahi/konteks ataukah tauqifi/makna asli.
Muncul karena
adanya perdebatan antara golongan Muktazilah dan ahli hadis.[21]
Golongan yang menyatakan bahwa makna suatu lafadz didasarkan pada istilahi/konteks
adalah golongan Mu’tazilah, karena kata bersifat mutlak. Sebaliknya, Golongan
Asy’ariyah mengatakan bahwa makna lafadz didasarkan pada tauqifi. Dari
sinilah ada konsekuensi lahirnya ilmu bahasa, khususnya ilmu nahwu yang
berfungsi menjaga dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna.
b)
apakah boleh bahasa itu
dianalogikan dari makna sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Contoh dari
permasalahan ini adalah seperti mengqiyaskan larangan memukul orang tua
dengan larangan mengucapkan “uff” kepada kedua orang tua. Sebagaimana
tercantum dalam Q.S al-Isra’:23. Dari sini kemudian nanti muncul ilmu ushul
fiqh.
c)
seputar masalah asma
al-syar’iyyah.
Kita telah
mengetahui bahwa syariat Islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka
yang jadi permasalahan disni adalah apakah maknanya ditentukan oleh kebudayaan
Arab atau boleh menggunakan pendekatan lain. Dalam hal ini terdapat dua
pendapat yaitu:
(1)
pendapat pertama menyatakan bahwa
makna lafadz ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab karena tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa al-Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab.
(2)
Pendapat kedua menyatakan bahwa
boleh saja memaknai lafadz dengan takwil sebagaimana golongan
Mu’tazilah. Sehingga dari sinilah nantinya muncul ilmu kalam.[22]
2)
aspek praktis (tathbiq)
Dalam aspek ini, pembahasan terfokus pada
tafsir syara’. Hal ini juga lebih banyak dikembangkan oleh ulama ushul
fiqh. Dalam prakteknya ada empat perspektif berbeda dalam melihat makna suatu
lafadz, diantaranya:
(1)
perspektif kedudukan, lafadz itu
ada yang ‘am, khas dan musytarak.
(2)
perspektif penggunaan (isti’mal),
lafadz itu dapat bermakna hakikat dan majaz.
(3)
perspektif derajat kejelasan,
lafadz itu dapat bermakna muhkam, mufassar, nash, dzahir,
musykil, mujmal dan mutasyabih.
(4)
Perspektif metode dalalahnya,
Menurut imam Syafi’i lafadz itu bisa memiliki makna dalalah al-manzhum
dan dalalah al-mafhum, yang terdiri dari mafhum muwafaqah dan mukhalafah.
Beberapa pedoman inilah yang selanjutnya menjadi sarana utama bagi bangunan
hukum Islam yang dihasilkan fuqoha. [23]
b.
Konsep Ushul
& Furu’
Kata ushul banyak digunakan dalam
berbagai disiplin ilmu. Dalam ilmu nahwu misalnya, ada huruf ashliyah,
merupakan huruf sebelum mengalami tambahan huruf lain. Sedangkan dalam ilmu
kalam, Imam Syafi’i merumuskan tentang ‘ilm al-ushul dengan menetapkan
empat sumber pokok agama Islam, yakni al-Quran, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[24]
Al-Jabiri mengartikan ushul bukan sebgai dasar-dasar hukum fiqih akan
tetapi sebagai proses penggalian pengetahuan.[25]Dari
sinilah kemudian beliau membagi 3 macam posisi dan peran ushul dalam hubungan
dengan furu’:
1)
Ushul sebagai
sumber pengetahuan, dan cara mendapatkannya disebut dengan istilah istinbath
yaitu menggali untuk mendapatkan sesuatu yang sama sekali baru. Sehingga nash
memiliki kedudukan sebagai sumber pengetahuan.
2)
Ushul sebagai
sandaran bagi pengetahuan yang lain, dan cara mendapatkannya disebut qiyas.
Ada 2 macam qiyas:
(a)
Qiyas yang berlaku
di kalangan fuqaha (ahli fiqh), disebut dengan qiyas ‘illat/qiyas
far’ ‘ala ashl/qiyas al-ghaib ‘ala asy-syahid. Makna al-syahid
disini adalah hukum yang terdapat pada ushul,
dan ghaib adalah sebagai furu’. Contoh: keharaman minuman wiski
diqiyaskan/disamakan dengan keharaman minuman khamr atas dasar
kesamaan illat. Misalkan salah satu ayat yang menyatakan keharaman khamr
adalah Q.S al-Maidah: 90.
(b)
Qiyas yang berlaku
di kalangan mutakallimin (ahli ilmu kalam), disebut dengan qiyas dalalah/istidlal
bi al-syahid ‘ala al-ghaib merupakan metode berpikir yang terdiri dari dua
premis, kemudian dari keduanya diambil kesimpulan. Makna syahid menurut
kalangan ini adalah manusia dan alam, dan makna ghaib berarti Allah.
Jadi menurut mereka, jika kita ingin mendapatkan pemahaman tentang Allah, kita
dapat memperoleh pemahaman terhadap manusia dan alam.
3)
Ushul sebagai
pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, dan cara mendapatkannya dengan
menggunakan kaidah ushul fiqh. Contoh kaidah yang artinya: “segala
sesuatu tergantung pada niatnya”.[26]
Membicarakan konsep ushul-furu’ ini, ada
dua permasalahan yang menarik untuk dikaji:
1)
Kajian tentang otoritas
tradisionalis/golongan salaf dalam kaitannya dengan sunnah/hadis
Dalam permasalahan ini terkait dengan
bagaimana ushul menghasilkan furu’. Permasalahan ushul
kaitannya dengan perspektif Imam Syafi’i tentang empat dasar pokok fiqh, yang
memunculkan ilmu yang berkaitan dengan keberadaan hadis, yaitu ilmu Hadis.
Permasalahan epistemologinya bukan terletak pada benar atau salahnya suatu
hadis melainkan sah atau tidaknya proses transmisi hadis tersebut, sehingga
memunculkan ilmu tentang macam-macam kualitas hadis seperti hadis mutawatir,
ahad, shahih, hasan, gharib, marfu’, maqtu’,
dha’if dan syadz. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa begitu
besar peranan golongan salaf/tradisionalis dalam menentukan sah tidaknya
ushul yang nantinya digunakan untuk memecahkan berbagai macam masalah
keagamaan.
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid,
yaitu orang-orang yang dianggap berkompeten dalam menetapkan hukum berdasarkan
dalil-dalilnya. Inilah yang bisa dikatakan sebagai problematika pada ijma’
bahwa karena ijma’ hanya kesepakatan para mujtahid, yang lagi-lagi
merupakan otoritas kalangan tradisionalis/kaum salaf.
2)
Masalah qiyas bayani
dan problematika analisisnya
Sehubungan dengan masalah konstruksi qiyas,
ada beberapa hal yang perlu dipaparkan seperti:
a)
Secara bahasa, qiyas
diartikan sebagai penetapan sesuatu atas dasar persamaan dengan sesuatu yang lain.
Dalam ilmu
logika dan filsafat, qiyas disebut juga dengan silogisme. Meskipun
begitu, kedua istilah ini memiliki perbedaan. Jika qiyas menyandarkan
sesuatu masalah kepada masalah yang lain karena faktor kesamaan. Sedangkan
silogisme merupakan kesimpulan dari dua premis (premis mayor dan minor).
b)
Qiyas itu tidak
menghasilkan pengetahuan baru, akan tetapi menyimpulakan dari suatu hukum yang
telah ada. Dalam fiqh, hukum yang dimaksud adalah hukum syara’. Dalam
ilmu kalam disebut al-syahid.
c)
Berkenaan dengan proses atau
langkah-langkah dari ashl ke furu’ dalam metode qiyas, didasari
oleh asumsi para mujtahid. Maksudnya furu’ mempunyai sifat atau karakter
yang sama dengan ushul, sehingga hukum furu’ pun disamakan dengan
hukum ushul. Seperti contoh qiyas pengharaman minuman wiski yang
disamakan dengan khamr sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Jadi hasil
dari qiyas adalah bersifat dzanni atau suatu karya ijtihadi
bukan qath’i. Kalangan mutakallimin atau ahli ilmu kalam lebih
menyukai menggunakan istilah istidlal. Karena menurut mereka qiyas
memiliki makna tasyabbuh atau penyerupaan. Jika al-ghaib dalam
hal ini Allah diqiyaskan dengan al-syahid/ manusia itu berarti
menyamakan Allah dengan manusia. Oleh karena itu mereka memakai istilah istidlal
yang memiliki makna penalaran terhadap pengetahuan yang ghaib yang didasarkan
pada perintah-perintah dan iman atau i’tibar[27].
Mereka mengacu pada dalil Q.S al-Hasyr: 13 dan Q.S Ali-Imran: 13.
c.
Konsep
Substansi & Aksidensi
Dari ketiga permasalahan ini persoalan tentang
konsep substansi & aksidensi yang dipengaruhi dari faktor luar, yaitu oleh
filsafat Yunani. Disebutkan oleh Muslih bahwa orang Islam yang pertama kali
menggunakan kedua istilah ini adalah Abu Hudzil al-Allaf (w.235 H).[28]
Problematika atau permasalahan ini muncul pada
mutakallimun yaitu ketika mereka mendiskusikan tentang ilmu Allah
meliputi segala sesuatu. Maka muncullah pertanyaan “sesuatu yang bagaimanakah
itu?” Dari situ kemudian muncul perbincangan masalah ‘substansi’. Arti dari
substansi adalah sesuatu yang sudah tidak dapat terbagi lagi, dalam bahasa Arab
disebut dzarrah. Sedangkan aksidensi diartikan sebagai sesuatu yang
tidak bisa berdiri sendiri.[29]
Selanjutnya muncullah setidaknya dua
problematika tentang substansi dan aksidensi, diantaranya:
1)
Hubungan antara akal dan wujud,
dan posisi keduanya, apakah akal merupakan substansi atau aksidensi begitu juga
dengan wujud.
2)
Bagaimana hubungan antara subjek
dan objek pengetahuan[30]
Berbeda dengan filsafat yang menganggap akal
sebagai substansi, dalam epistemologi bayani akal dianggap sebagai
aksidensi yang tidak bisa berdiri
sendiri. Lalu apa hubungan akal dengan wujud? Jawaban dari pertanyaan
ini dimulai dengan jawaban dari pertanyaan “apa yang mungkin dipikirkan akal?”,
bisa jadi jawaban yang mungkin dipikirkan akal adalah “yang ada” dan “yang
tidak ada”. Sehingga dapat dipahami bahwa wujud merupakan akhbar dari kerja
akal, maka ia disebut juga aksidensi sama halnya dengan akal.
Dalam ilmu kalam, logika dijadikan sebagai
alat untuk mempertahankan ‘argumen’ akidah saja, bukan untuk menghasilkan
pengetahuan baru. Sehingga premis-premis silogisme yang dijadikan sebagai
penguat ‘argumen’ tersebut.
Jadi, bahwa sumber pengetahuan bayani adalah
teks/nash, sedangkan peran akal hanya menjadi alat pembenar dari teks.
4.
Cara
Mendapatkan Pengetahuan
Terdapat dua
jalan yang ditempuh epistemologi bayani untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu:
a.
Berpegang pada redaksi nash
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Dan sebagai alat analisisnya menggunakan
ilmu nahwu dan ilmu shorof.
b.
Metode qiyas (analogi)
merupakan prinsip utama epistemologi bayani.
Dalam ilmu
ushul fiqih, qiyas artinya menetapkan hukum suatu kasus keagamaan (syariat)
yang belum ada ketetapan hukumnya, dengan suatu kasus lain yang sudah ada
ketetapan hukum dari nash serta ijma’, dikarenakan adanya suatu persamaan di
antara keduanya dari segi illat yang dijadikan pedoman dalam penetapan hukum.[31]
Untuk melakukan qiyas ada beberapa hal yang harus dipenuhi, atau disebut juga
dengan rukun qiyas yaitu adanya ushul, hukum ushul, furu’,
‘illat.
Menurut
al-Jabiri, dalam epistemologi bayani sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan
metode qiyas digunakan dalam tiga aspek:
a.
Qiyas dalam kaitannya dengan status
dan derajat hukum yang ada pada ushul maupun furu’.
b.
Qiyas yang berkaitan dengan illat
yang ada pada ushul dan furu’ atau yang menunjukkan ke arah itu.
c.
Qiyas berkaitan dengan
potensi/kecenderungan untuk menyatukan antara ushul dan furu’.[32]
Seorang
pemikir golongan Muktazilah, Abd al-Jabbar menyatakan bahwa metode bayani
tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari nash tapi juga
digunakan untuk menggali persoalan ghaib dengan melalui empat cara:
a.
Berdasarkan kesamaan dilalah
(petunjuk)
b.
Berdasarkan kesamaan illat
c.
Berdasarkan kesamaan yang berlaku
pada tempat illat
d.
Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib
mempunyai derajat lebih dibandingkan dengan yang empirik.[33]
5.
Implikasi
Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam
Amin Abdullah
mengatakan bahwa corak pemikiran keislaman model bayani sangat
mendominasi dalam tradisi keilmuan agama Islam baik di perguruan tinggi agama
Islam, umum, sekolah-sekolah terlebih di pondok pesantren.[34]
Otoritas nash/teks yang dibakukan menjadi kaidah-kaidah ushul fiqh
klasik lebih diunggulkan daripada otoritas keilmuan yang lain. Dominasi pola
pikir yang seperti ini membuat sistem epistemologi keagamaan Islam kurang
begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual –bahtsiyah.
Jika dikaitkan
dengan pendidikan Islam, epistemologi bayani berimplikasi terhadap
komponen-komponennya, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a.
Tujuan pembelajaran dalam
epistemologi bayani adalah peserta didik diharapkan dapat memahami isi
kandungan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis serta menguasai bahkan
mampu melakukan ijtihad.
b.
Pendidik dalam epistemologi bayani
ini haruslah orang yang sudah menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan nash/teks
dalam hal ini al-Quran dan al-Hadis, kaidah fiqh, gramatikal bahasa Arab.
c.
Peserta didik diartikan sebagai
orang yang memerlukan bimbingan secara efektif dan intensif untuk memahami nash/teks.
d.
Kurikulum yang diberikan seperti
pelajaran yang didalamnya terdapat materi dasar keyakinan, seperti al-Quran,
Hadis, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih.
e.
Metode yang digunakan adalah metode
bayan atau penjelasan, melalui bacaan/narasi karena memang sumber
pengetahuannya adalah nash/teks serta melalui otoritas guru.
f.
Evaluasi pembelajarannya dapat
menggunakan argumen jadaliyah.
Adapun
ringkasan dari penjelasan tentang epistemologi bayani dapat dilihat pada
tabel berikut[35]:
Tabel 2.1
SKEMA EPISTEMOLOGI BAYANI
No
|
Struktur Fundamental
|
Epistemologi Bayani
|
1.
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/nash
|
2.
|
Metode
|
Berpegang pada dzahir teks
-Qiyas al-ghaib ala al-syahid
-Qiyas al-far’u ala al-ushul
|
3.
|
Pendekatan
|
Bahasa
|
4.
|
Tema Sentral
|
Ushul-Furu’
Kata-Makna
|
5.
|
Validitas Kebenaran
|
Korespondensi
|
6.
|
Pendukung
|
Mutakallimun, fuqoha, ahli bahasa
|
B.
Epistemologi Burhani
dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.
Perkembangan
Epistemologi Burhani
Seperti halnya
epistemologi bayani, pemaparan tentang epistemologi burhani dalam
latar belakang yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan alat berupa
rasio atau akal.
Secara bahasa (etimologi)
kata burhan merupakan bahasa Arab yang senada dengan kata al-hujjah
yang artinya bukti.[36]
Dalam bahasa Inggris disebut demontration. Sedangkan dalam ilmu mantiq/logika,
burhani merupakan kegiatan berpikir untuk menentukan kebenaran suatu premis
melalui metode penyimpulan dengan cara menghubungkan premis tersebut dengan
premis yang lain yang telah terbukti kebenarannya. Dalam ilmu tafsir, burhani
disebut juga dengan tafsir bi ar-ra’yi.[37]
Dalam bukunya
Filsafat Ilmu, Muslih (2006) mengatakan bahwa burhani adalah aktivitas
nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.[38]
Istilah Burhani sebenarnya lahir dari
pemikiran filosof Yunani, Aristoteles. Aristoteles menyebut dengan metode
analitis/tahlili sedangkan muridnya, Alexander Aphrodisi menggunakan
istilah mantiq/logika, dan barulah ketika masuk ke khazanah pemikiran Islam (dunia
Arab), al-Jabiri menggunakan istilah burhani. Cara berpikir Aristoteles
tersebut masuk pertama kali dalam dunia pemikiran Islam melalui program
penerjemahan buku filsafat pada masa khalifah al-Ma’mun yang menurut al-Jabiri
hal ini menjadi tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan
pemikiran keagamaan Arab. Program penerjemahan dan kebutuhan terhadap metode
burhani menjadi alasan karena saat itu banyak doktrin yang hiterodok.[39]
Untuk menjawab doktrin-doktrin tersebut
maka dibutuhkan sistem berpikir rasional, karena epitemologi bayani sudah tak
lagi mampu menjawab persoalan yang ada. ini Inilah yang kemudian menjadi
sejarah asal-usul istilah burhani.
Al-Kindi
(806-875 M) adalah sarjana muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan
metode Burhani melalui karyanya yang berjudul “Falsafah al-Ula” tentang objek
bahasan dan kedudukan filsafat serta ungkapan ketidaksenangannya terhadap
orang-orang pendukung bayani. Hal yang disayangkan adalah metode burhani yang
ia perkenalkan tidak begitu dikenal, tetapi beliau paling tidak sudah
mewariskan tentang kesejajaran antara pengetahuan manusia dengan Tuhannya serta
permasalahan filsafat yang terus hidup sampai sekarang.
Metode Burhani
semakin masuk sebagai suatu sistem pemikiran Islam setelah masa al-Razi
(865-925 M), beliau adalah penganut paham rasionalis murni yang berpendapat
bahwa “pada prinsipnya semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia
menjadi manusia”. Yang mana akal merupakan hakikat kemanusiaan yang menjadi
satu-satunya alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam empiric dan konsep
baik dan buruk. Menurut beliau, selain akal, sumber pengetahuan yang lain
adalah omong kosong.
Setelah masa
al-Farabi, metode burhani sungguh mendapat tempat dalam pemikiran Islam. Beliau
berpendapat bahwa metode burhani adalah yang paling baik dan unggul, ilmu
filsafat yang memakai metode burhani memiliki nilai lebih tinggi daripada
ilmu-ilmu keagamaan yang tidak menggunakan metode burhani, seperti ilmu kalam
dan fiqih.
2.
Bahasa dan
Logika
Persoalan ini
muncul ketika terjadi perdebatan antara Abu Said al-Syirafi, seorang ahli
bahasa (893-979 M) dengan Abi Bisyr Matta (870-940 M) tentang konsep kata dan
makna. Jika al-Syirafi berpendapat bahwa kata muncul terlebih dulu daripada
makna, maka begitupun sebaliknya Matta berpendapat bahwa makna ada lebih dulu
daripada kata atau dengan redaksi lain logika lebih dulu ada dibandingkan
bahasa, logika lah yang menentukan bahasa. Hal ini diperkuat oleh al-Farabi
yang mengatakan bahwa konsepsi intelektual pada dasarnya diambil dari
objek-objek empirik yang ditangkap oleh indera.
Prinsip
kerjanya adalah: (a) Adanya objek yang eksternal, (b) Terjadinya gambaran dalam
pikiran, (c) Pengungkapan gambaran tersebut dalam bentuk bahasa/kata. Itu
artinya adalah kata/bahasa merupakan hasil copy dari susunan makna dalam
pikiran, dan makna dalam pikiran adalah hasil copy dari objek eksternal
(benda yang ada di alam semesta). Konsep
ini menunjukkan bahwa sumber pengetahuan Burhani adalah rasio (dalil-dalil
logika). Rasio memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi
yang masuk lewat indera dengan cara tasawwur dan tashdiq.[40]
3.
Silogisme
Burhani
Sehubungan
dengan ketiga prinsip kerja konsepsi intelektual sebagaimana dijelaskan pada
sub bab bahasa dan logika sebelumnya diatas, pembahasan tentang silogisme
demonstratif/qiyas burhani menjadi penting. Secara bahasa, silogisme
berasal dari bahasa Yunani sullogismos yang artinya mengumpulkan,
penarikan kesimpulan. Yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
istilah qiyas jama’i. Silogisme demostratif (qiyas burhani) yang
dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep
yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realita (bukan nash) serta
diterima oleh akal.[41]
Untuk
menerapkan silogisme ini, ada tiga tahapan yang harus dilewati menurut
al-Jabiri sebagaimana dikutip dalam buku Filsafat Ilmu-Muslih[42]:
a.
Tahap pengertian (ma’qulat)
Adalah proses
berpikir berdasarkan realita yang dihasilkan dari penginderaan untuk
mendapatkan suatu gambaran. Menurut Aristoteles, pengertian selalu merujuk pada
10 kategori, meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi, tempat, waktu,
sikap dan keadaan.
b.
Tahap pernyataan (ibarat)
Adalah
pengekspresian pengertian dalam kalimat yang disebut proposisi. Dalam
prosposisi ini harus mengandung subjek (maudhu’) dan predikat (mahmul)
yang membentuk satu pengertian dan mengandung kebenaran, sesuai dengan realita
yang diinderakan.
c.
Tahap penalaran (tahlilat)
Adalah tahapan
dimana silogisme digunakan. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi
yang nantinya akan menjadi premis mayor (pertama) dan minor (kedua), sehingga
dari keduanya dapat ditarik kesimpulan yang logis.
Silogisme
harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian
disebut premis. Serta ada hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan.
Ada tiga macam
teori kebenaran, korespondensi, koherensi dan pragmatisme. [43]
Sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh epistemologi burhani nampak ada
kedekatan dengan teori koherensi. Epistemologi burhani menuntut pola
penalaran yang sistematis, logis antar premis-premisnya juga koheren dengan
realita yang ada.
Al-Jabiri
berpendapat bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, akan tetapi belum tentu
yang silogisme itu burhani. Silogisme (qiyas) dapat juga disebut burhani
jika memenuhi tiga syarat, akan tetapi syarat yang ketiga sajalah yang menjadi
karakteristik silogisme burhani:
a.
Mengetahui penyebab yang menjadi
alasan dalam penyusunan premis
b.
Adanya hubungan yang logis antara
sebab dan kesimpulan
c.
Kesimpulan yang dihasilkan harus
bersifat pasti.[44]
Syarat premis
burhani menurut al-Jabiri harus benar, dan syarat benar adalah yang meyakinkan.
Beliau membagi materi premis silogisme dalam empat bentuk: (1) pengetahuan
primer, (2) pengetahuan indera, (3) opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat),
(4) opini yang diterima (maqbulat). Dari keempat bentuk itu, tingkat
kepercayaannya tidaklah sama tergantung syarat.[45]
Sebuah premis dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu kepada dua
kriteria pertama dan dipercaya jika memenuhi kriteria pertama.
Dalam hirarki
materi silogisme, “proposisi pengetahuan primer” menduduki posisi pertama
karena memenuhi ketiga syarat premis yang meyakinkan. Premis-premis inilah yang
digunakan dalam silogisme burhani, selain itu silogisme burhani juga
menggunakan pengetahuan indera dengan syarat objek pengetahuan indera harus
senantiasa sama saat diamati. Disusul dengan “proposisi yang umumnya diterima”
(masyhurat) pada posisi kedua yaitu pada tingkat mendekati keyakinan
(tidak sampai derajar meyakinkan), ini biasanya diakui atas dasar keimanan
tanpa diuji secara rasional. Premis-premis ini digunakan oleh silogisme
dialektika.[46]Sedangkan
opini-opini yang diterima (maqbulat) adalah premis yang digunakan oleh
metode retorik yang hanya menduduki posisi “dipercaya saja”, hanya diakui oleh
sekolompok orang saja dan tidak ada penyelidikan lebih lanjut apakanh yang
diterima itu memang demikian adanya atau tidak.
Model
silogisme Aristoteles sering disebut silogisme kategorik yaitu terdiri dari
beberapa komponen (premis mayor, premis minor, dan kesimpulan). Dalam istilah
yang digunakan oleh skolastik terdapat beberapa bentuk silogisme, diantaranya:
a.
Term tengah menjadi subjek pada
premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor
1)
Model Barbara
Contoh: Semua manusia fana (premis mayor)
Plato adalah seorang
manusia (premis minor)
Plato
fana (kesimpulan)
2)
Model Calerent
Contoh: Tak ada ikan yang rasional
Semua hiu adalah ikan
Tak ada hiu yang rasional
3)
Model Dani
Contoh: Semua manusia rasional
sebagian makhluk hidup
adalah manusia
sebagian makhluk hidup
rasional
4)
Model Ferio
Contoh: tak ada orang Yunani berkulit hitam
sebagian manusia adalah
orang Yunani
sebagian manusia tak
berkulit hitam.
b.
Term tengah menjadi predikat baik
pada premis mayor maupun premis minor
Contoh: Semua hewan membutuhkan air
Tidak satupun benda mati
membutuhkan air
Tidak satupun benda mati adalah
hewan
c.
Term tengah menjadi subjek baik
pada premis mayor maupun premis minor
Contoh: Setiap manusia mempunyai rasa takut
tetapi setiap manusia adalah
makhluk hidup
sebagian makhluk hidup
mempunyai rasa takut.
Dengan
berlandaskan logika Aristoteles, bebrapa metode yang dipakai epistemologi
burhani adalah metode deduksi, induksi (istiqra’), konsep universalisme,
universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas, maqashid
al-syariah.
Jadi perbedaan
mendasar antara epistemologi bayani dan burhani adalah jika bayani didasarkan
pada lafadz sedangkan burhani didasarkan pada makna.
4.
Peran bagi
Epistemologi Selanjutnya
Jika dibandingkan dengan epistemologi bayani,
yang menjadikan teks/nash sebagai prioritas utama maka burhani
lebih menyandarkan diri dari kekuatan rasio/akal yang dilakukan melalui
dalil-dalil logika. Jadi akal/rasio lah yang menjadi sumber pengetahuan burhani,
bukan teks ataupun intuisi. Akal/rasio itulah yang memberikan penilaian dan
keputusan yang telah diyakini kebenarannya.
Dalam al-Quran
banyak disebutkan bahwa manusia diperintah untuk menggunakan nalarnya.[47]
Hal ini membuktikan bahwa akal kita mampu meraih pengetahuan dan kebenaran
selama ia digunakan sebagaimana mestinya.
Adapun ilmu-ilmu
yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-‘ilm al-husuli,
yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan
disistematisasikan melalui premis-premis logika/mantiq, bukan melalui otoritas nash/teks
atau salaf dan juga bukan melalui intuisi. Premis-premis tersebut disusun
melalui kerjasama antara proses abstraksi dengan penginderaan yang benar atau dapat juga
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat laboratorium,
penelitian lapangan.[48]
Peran akal
dalam epistemologi ini sangat menentukan karena fungsinya selalu diarahkan
untuk mencari sebab-akibat. Untuk mencari sebab-musabab yang terjadi terhadap
peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak
membutuhkan nash/teks keagamaan. Untuk memahami realita itu cukup dengan
pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah. Konstruksi
pemanfaatan ilmu sosial seperti ini merupakan konstruksi M.Arkoun, akal bukan
untuk pengukuh nash/teks seperti dalam epistemologi bayani melainkan untuk
menganalisis dan menguji secara kontinu terhadap hipotesis dan teori yang
dirumuskan melalui premis logika keilmuan.[49]
Menurut
Suhrawadi (1154-1192 M) dalam buku A.Khudori-kekurangan epistemology burhani
adalah:
a.
Ada kebenaran-kebenaran yang tidak
bisa dicapai oleh rasio atau didekati burhani.
b.
Ada eksistensi di luar pikiran yang
bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan oleh burhani, seperti
soal bau, warna, rasa atau bayangan.
c.
Prinsip burhani yang menyatakan
bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut lain sehingga tidak aka
nada absurditas. Akan tetapi nyatanya burhani tidak bisa menyingkap seluruh
realita yang ada di alam semesta.[50]
Sehingga
muncullah metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang pada
perkembangan selanjutnya muncul metode kelima yaitu filsafat transenden (hikmah
al-muta’aliyah) yang dictuskan Mulla Sadra (1571-1640 M) yang memadukan bayani,
burhani dan irfani.
5.
Implikasi
Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam
Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, epistemologi
burhani berimplikasi terhadap komponen-komponennya, sebagaimana
dijelaskan sebagai berikut:
a. Tujuan pembelajaran
dengan epistemologi burhani ini adalah untuk membangun penalaran peserta
didik serta memadukan penginderaan dengan rasio peserta didik agar mereka
memiliki kecermatan dan logika yang kritis.
b. Pendidik adalah
orang yang memiliki pola pikir logis-empirik, serta mampu melakukan penelitian.
Seperti ahli mantiq, fisikawan, ilmuwan.
c. Peserta didik
dianggap sudah mampu berpikir, dapat menggunakan nalar/rasionya dalam mengaplikasikannya
dalam pembelajaran (kritis).
d. Kurikulum yang
diberikan adalah seperti ilmu-ilmu kelaman dan sosial seperti Ilmu Pengetahuan
Alam (Biologi, Fisika, Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah, Geografi,
Sosiologi, Antropologi) serta ilmu yang mengandung penalaran (silogisme)
seperti ilmu kalam.
e. Metode yang
digunakan adalah metode analisis-diskusi, penggunaan nalar seperti melakukan
dilaog kritis.
f. Evaluasinya
adalah peserta didik dapat berpikir logis dan kritis.
Mengacu pada
buku filsafat ilmu, Muslih menggambarkan secara ringkas skema epistemologi burhani
sebagaimana berikut[51]:
Tabel 2.2
SKEMA EPISTEMOLOGI BURHANI
No
|
Struktur Fundamental
|
Epistemologi Burhani
|
1.
|
Sumber
|
Rasio
|
2.
|
Metode
|
Silogisme
|
3.
|
Pendekatan
|
Logika
|
4.
|
Tema Sentral
|
Esensi-Aksistensi
Bahasa-Logika
|
5.
|
Validitas Kebenaran
|
Koherensi
Konsistensi
|
6.
|
Pendukung
|
Filosuf
|

PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
Pemikiran
al-Jabiri kaitannya dengan epistemologi Islam terbagi menjadi tiga, dua
diantaranya adalah bayani dan burhani. Tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa kedua epistemologi tersebut memberikan sumbangsih yang besar
terhadap disiplin ilmu pendidikan Islam.
1.
Perkembangan
Epistemologi Bayani
Secara historis, perkembangan epistemologi bayani
dimulai dari “bawah”, berawal dari sekedar upaya pemisahan kata dalam al-Quran
sampai menjadi metode berpikir sistematis untuk menggali pengetahuan dan
menyampaikannya kepada pendengar.
Sumber pengetahuannya adalah al-Quran dan
al-Hadits, keduanya tidak senantiasa bersifat qoth’i tetapi kadang juga
bersifat zhanni. Persoalan pokok yang diangkat mencakup tiga, yaitu
konsep lafadz-makna, ushul-furu’, substansi-aksidensi. Pengetahuan bayani
didapat dengan dua cara: berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji dengan
analisis bahasa serta metode qiyas. Analogi bayani tidak terbatas
pada teks tapi juga digunakan untuk memahami realita non-empirik.
Karena hanya mendasarkan diri pada teks,
epistemologi bayani hanya terbatas karena fokus pada sesuatu yang
bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang dinamis dalam mengikuti
sejarah dan sosial masyarakat. Sehingga pada kenyataannya pemikiran Islam yang
banyak didominasi bayani fiqhiyah kurang dapat mengimbangi perkembangan
peradaban dunia.
2.
Implikasi
Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam
|
Bayani bisa dikatakan sebagai fase dasar dan permulaan. Jika dikaitkan
dengan proses pembelajaran, Tujuan pembelajaran dalam epistemologi bayani
adalah pemahaman terhadap isi kandungan nash serta mampu melakukan
ijtihad. Sedangkan pendidik adalah orang yang sudah menguasai ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan nash/teks, kaidah fiqh, gramatikal bahasa Arab. Peserta
didik diartikan sebagai orang yang memerlukan bimbingan secara efektif dan
intensif untuk memahami nash/teks. Kurikulum yang diberikan seperti
pelajaran yang didalamnya terdapat materi dasar keyakinan. Metode yang
digunakan adalah metode bayan, melalui bacaan dan juga melalui otoritas pendidik.
Evaluasi pembelajarannya dapat menggunakan argumen jadaliyah.
3.
Perkembangan
Epistemologi Burhani
Berbeda dengan epistemologi bayani, sumber
pengetahuan epistemologi burhani adalah
akal/rasio. Sebenarnya epistemologi ini ada kesamaan dengan paham rasionalisme
yang mengagungkan akal. Mereka berpendapat bahwa makna datang lebih dahulu
dibandingkan dengan lafadz. Karena makna datang dari sebuah konsep pemikiran
yang diaktualisasikan menjadi lafadz.
Epistemologi burhani ini bisa dikatakan
telah berjasa dalam mengembangkan pemikiran filsafat (baca: epistemologi bayani
dan irfani) serta menjadi penopang utama dua epistemologi berikutnya
(baca: iluminasi/isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah/filsafat
transenden). Mengutip perkataan Aristoteles yang mengatakan bahwa Burhani dapat
mengembangkan metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari metode
dan faktor lain.
4.
Implikasi
Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam
Burhani merupakan fase pengembangan dan
perubahan. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran, tujuan pembelajaran dalam
epistemologi burhani ini adalah membangun nalar peserta didik agar
mereka kritis. Pendidik haruslah orang yang memiliki pola pikir logis-empirik.
Peserta didiknya sudah bisa berpikir kritis. Kurikulum yang diberikan adalah
seperti ilmu-ilmu kelaman dan sosial. Metode yang digunakan adalah metode
analisis-diskusi. Evaluasinya menggunakan logika peserta didik.

Abdullah,
Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qattan,
Manna’ Khalil. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa.
Bisri,
Moh.Adib. t.tt. Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh.
Kudus: Menara.
Khudori, A. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.
Muslih,
Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Qomar,
Mujamil. t.tt. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Sofyan, Ayi. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka
Setia.
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
|
Tim Penyusun Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). 2008. Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siswa 2004 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien PP.Lirboyo.
[4]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, t.tt),
hlm. 222.
[5]Muhammad ‘Abid al-Jabiri, lahir di Maroko pada
tahun 1936. Merupakan pemikir muslim kontemporer. Beliau memperoleh gelar
doktor di Universitas al-Khamis, Rabat, Maroko. Dan sejak tahu 1976 beliau
menjadi dosen bidang filsafat dan pemikiran Islam pada fakultas sastra di
kampus yang sama.
[6]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas
Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Belukar, 2004), hlm. 162.
[10]Yaitu ditandai dengan lahirnya karya Muqatil
ibn Sulaiman yaitu al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Quran al-Karim dan
karya Ibn Ziyad al-Farra’ yaitu Ma’ani al-Qur’an. Lihat A.Khudori, Wacana
Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 178.
[11]Beliau dianggap sebagai peletak dasar aturan
penafsiran wacana bayani juga dianggap sebagai perumus nalar Islam, khususnya
nalar Arab. Beliau mengguanakan hukum-hukum Arab untuk menafsirkan nash/teks
sehingga salah satu sumber penalarannya yang disebut qiyas menjadi acuan untuk
memecahkan problematika keagamaan dalam masyarakat. Lihat Muslih, Filsafat
Ilmu, hlm. 164.
[12](1) bayan yang tidak
memerlukan penjelasan, (2) bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan
penjelasan hadis, (3) bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan
membutuhkan penjelasan hadis, (4) bayan yang tidak terdapat dalam
al-Quran namun ada dalam hadis, (5) bayan yang tidak ada di keduanya,
baik dalam al-Quran maupun hadis yang kemudian beliau memunculkan qiyas sebagai
metode ijtihad. Lihat Muslih, Filsafat Ilmu, hlm 164. Juga A,Khudori, Wacana
Baru Filsafat Islam, hlm. 178.
[13]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 165. Dalam
buku A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Ilmu, hlm. 179 disebutkan bahwa
al-Jahizh memberi 5 syarat kepada bayani, syarat kelima yaitu adanya kekuatan
kalimat untuk memaksa lawan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya
sendiri.
[16]Al-Syatibi adalah seorang tokoh utama dari
madzhab Maliki. Beliau lahir di Kordoba, Spanyol. Wafat pada tahun 1388M. Lihat
Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 166. Juga A.Khudori, Wacana Baru Filsafat
Islam, hlm. 180.
[20]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 169. Lihat
Juga A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 183-187.
[21]A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam,
hlm. 184. Sedangkan dengan redaksi berbeda, dalam Muslih, Filsafat Ilmu,
hlm. 169 yang berdebat adalah golongan Muktazilah dan Asy’ariyah.
[22]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm.169. Lihat
juga dalam A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 185, dalam buku
ini disebutkan bahwa pendapat pertama ini dikemukakan oleh al-Baqilani dan yang
kedua oleh golongan Muktazilah.
[26]الآموربمقاسدها adalah kaidah ushul fiqh
yang artinya segala sesuatu tergantung pada niatnya. Lihat Moh.Adib Bisri, Terjemah
al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh (Kudus: Menara, t.tt), hlm.1.
[28]Beliau menggunakan istilah al-jauhar
al-fard untuk substansi dan al-‘ardl untuk aksidensi. Lihat Muslih, Filsafat
Ilmu, hlm. 175.
[31]Tim Penyusun Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien), hlm. 132.
[34]Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: 2010), hlm. 373.
[37]Tafsir bi ar-ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan
maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri dan
penyimpulan yang didasarkan pada rasio semata. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 488.
[40]Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan
data-data dari indera. Tashdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran
konsep tersebut. Lihat A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm.
223-224.
[43]Amin Abdullah mengartikan korespondensi yaitu
kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan
hukum-hukum alam. Koherensi: Keruntutan dan keteraturan berpikir logis. Pragmatik:
Upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh
jerih payah manusia. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 386.
[45]Tiga syarat sebuah premis dikatakan
meyakinkan: a) kepercayaan bahwa premis itu berada, b) kepercayaan bahwa
sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain, c) kepercayaan bahwa
kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Lihat A.Khudori, Wacana Baru
Filsafat Islam, hlm. 225.
[46]Adalah bentuk silogisme yang tersusun atas
premis-premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan.
[47]Berbagai redaksi yang Allah gunakan seperti
ayat yang memiliki akhiran “ta’qilun”, “ta’lamun”, “tatafakkarun”,
tadabbarun”.
[49]Dalam epistemologi ini, akal lebih fokus untuk
difungsikan agar membentuk budaya melakukan penelitian. Lebih jelasnya lihat
Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 385.
0 komentar:
Posting Komentar