Selasa, 15 Desember 2015

EPISTEMOLOGI BAYANI DAN BURHANI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Makalah
Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam









Oleh:
Fakhriyatus Shofa Alawiyah
NIM. 084 9315 003


Dosen Pengampu:
Dr. Muniron, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(PPs IAIN) JEMBER
Oktober, 2015


DAFTAR ISI



COVER....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL..................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A.  Latar Belakang................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.  Tujuan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 3
A.    Epistemologi Bayani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.      Perkembangan Epistemologi Bayani.......................................... 3
2.      Sumber Pengetahuan.................................................................. 7
3.      Konsep Lafadz dan Makna........................................................ 7
4.      Cara Mendapatkan Pengetahuan............................................... 14
5.      Implikasi Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam...... 15
B.     Epistemologi Burhani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam           
1.      Perkembangan Epistemologi Burhani........................................ 16
2.      Bahasa dan Logika..................................................................... 18
3.      Silogisme Burhani...................................................................... 19
4.      Peran bagi Epistemologi Selanjutnya......................................... 23
5.      Implikasi Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam..... 24
BAB III PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 28



DAFTAR TABEL

No
Uraian
Hal
1
Skema Epistemologi Bayani
16
2
Skema Epistemologi Burhani
25



 
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Epistemologi merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang di dalamnya meliputi pembahasan tentang hakikat ilmu pengetahuan manusia.[1] Jika dihubungkan dengan ilmu, cabang kajian filsafat ini untuk menjawab pertanyaan seperti apa saja sumber-sumber pengetahuan, apa saja alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan, metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan serta bagaimana batasan pengetahuan.
Supriyanto menyebutkan bahwa basis atau landasan bagi epistemologi ilmu adalah “metode ilmiah” dengan hasil kajian berupa teori, prinsip serta hukum ilmu pengetahuan.[2]
Singkatnya, epistemologi dapat diartikan sebagai cara mengetahui kebenaran. Mengenai hal ini, dalam bukunya Ayi menyebutkan bahwa pemikir-pemikir Islam sepakat bahwa ada tiga alat epitemologi dalam diri manusia, pertama, indera, kedua, akal, dan ketiga hati. Yang kemudian ketiga alat epistemologi ini menghasilkan tiga cara/metode juga dalam memperoleh pengetahuan. Ketiga metode tersebut meliputi metode observasi, demonstratif, dan intuitif.[3]
1
 
Ketiga metode di atas memiliki istilah tersendiri dalam filsafat Islam, pertama, metode observasi sebagaimana dikenal dalam epistemologi Islam dengan sebutan metode bayani dengan menggunakan teks/nash sebagai alat mengetahui atau memperoleh pengetahuan. Kedua, metode demonstratif yang lebih dikenal dengan sebutan metode burhani dalam epistemologi Islam dan menggunakan akal sebagai alat mengetahui atau memperoleh pengetahuan. Dan yang ketiga yaitu metode intuitif atau lebih dikenal dengan sebutan  metode ‘irfani dan alat yang digunakan untuk mengetahui atau memperoleh pengetahuan adalah hati.
Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang memiliki ciri-ciri tertentu dimana wahyu Allah, ditempatkan sebagai pemberi petunjuk ke arah mana pendidikan itu digerakkan.[4] Ketiga epistemologi Islam diatas pasti memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan pendidikan Islam. Seperti melahirkan cabang-cabang keilmuan baru.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan dua dari tiga epistemologi Islam di atas. Yaitu metode bayani dan burhani saja. Yang pembahasannya meliputi pengertian metode bayani dan burhani serta masing-masing implikasinya terhadap pendidikan Islam.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan epistemologi bayani?
2.      Bagaimana implikasi epistemologi bayani terhadap pendidikan Islam?
3.      Apa yang dimaksud dengan epistemologi burhani?
4.      Bagaimana implikasi epistemologi burhani terhadap pendidikan Islam?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mendeskripsikan tentang epistemologi bayani.
2.      Untuk mendeskripsikan tentang implikasi epistemologi bayani terhadap pendidikan Islam.
3.      Untuk mendeskripsikan tentang epistemologi burhani.
4.      Untuk mendeskripsikan tentang implikasi epistemologi burhani terhadap pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
            Dalam filsafat Islam, al-Jabiri[5] membagi tipologi epistemologi Islam menjadi tiga, bayani, burhani dan ‘irfani sebagaimana ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993), di dalamnya secara luas beliau menjelaskan nalar tradisi Arab. Muslih menyatakan bahwa al-Jabiri lebih cenderung kepada epistemologi burhani, menurutnya karena epistemologi ini lebih dianaktirikan dibandingkan dengan bayani ataupun irfani.[6]
            Berikut ini akan dipaparkan kedua epistemologi yang akan menjadi fokus kajian makalah ini, yaitu epistemologi bayani dan burhani serta masing-masing implikasinya terhadap pendidikan Islam.
A.      Epistemologi Bayani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.      Perkembangan Epistemologi Bayani
Sebagaimana dipaparkan dalam latar belakang di atas, epistemologi bayani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menjadikan teks atau nash sebagai otoritas dasar.

Secara umum, kata al-bayan berasal dari bahasa Arab yang senada dengan kata al-syarhu, al-idhohu artinya penjelasan, keterangan.[7] Sedangkan Ahli ushul fiqih (ushulliyun) mengartikan bayan sebagai upaya menyingkap makna dari suatu pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf. Maksudnya usaha untuk menjelaskan suatu ungkapan agar menjadi jelas.
Secara etimologis, al-Jabiri memberikan pengertian untuk kata al-bayan sebagai metode (al-fasl wa al-infishal) dan sebagai visi (al-dzuhur wa al-idzhar).[8] Secara terminologis, kajian bayani terbagi menjadi dua:
a.       Aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi)
b.      Syarat-syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithabi).[9]
Makna-makna terminologis diatas muncul pada masa kodifikasi (tadwin).[10]
Asal-usul bayani paling tidak sudah dimulai pada masa Rasulullah, yakni proses perkembangan pemaknaan bayani seiring dengan tradisi Arab-Islam, yang awalnya budaya lisan/riwayat sahabat menjadi budaya tulis dan nalar. Pada waktu itu, Rasulullah saw menjelaskan ayat yang belum sahabat pahami, kemudian para sahabat menafsirkan ketetapan yang diberikan Rasulullah melalui teks, selanjutnya para tabi’in mengumpulkannya serta menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar atau ijtihadnya dengan teks sebagai pedoman utama mereka. Kegiatan penafsiran seperti itu terus berlanjut hingga generasi berikutnya.
Menurut al-Jabiri sebagaimana diungkapkan oleh Muslih dalam bukunya bahwa proses peletakan aturan penafsiran wacana dalam bentuk yang baku dan tidak hanya pada aspek bahasanya saja sebenarnya diterapkan untuk pertama kalinya oleh Imam Syafi’i[11] (w.204 H). Menurut beliau, bayani adalah nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke furu’ (cabang). Sedangkan dari segi metodologi, beliau membagi bayan menjadi lima tingkatan.[12] Yang kemudian dari kelima tingkatan bayan tersebut Imam Syafi’i merumuskan empat dasar pokok agama, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Kemudian dalam perkembangannya, al-Jahizh muncul sebagai kritik dari pendapat Imam Syafi’i tentang bayani. Menurutnya konsep bayani Imam Syafi’i masih tahap bagaimana memahami teks/nash belum sampai pada tahap bagaimana memberi pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Bayani menurut al-Jahizh adalah bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana melainkan sudah sebagai syarat-syarat untuk menghasilkan wacana bahkan sebagai alat untuk memenangkan sebuah perdebatan. Beliau menawarkan beberapa syarat bagi bayani: (1) syarat kefasihan ucapan, (2) seleksi huruf dan lafadz, (3) keterbukaan makna, (4) keindahan.[13]
Kemudian konsep al-Jahizh dianggap kurang tepat dan sistematis sehingga muncul Ibnu Wahhab[14] yang menyatakan bahwa bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar akan tetapi merupakan sebuah metode untuk membangun konsep diatas ushul-furu’ dengan cara menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqih dan kalam. Cara tersebut dilakukan karena dipengaruhi oleh adanya usaha untuk meredam ketegangan antara fiqih dan filsafat yang terjadi pada saat itu.
Menurut Ibnu Wahhab, ada empat macam bayan, masing-masing berfungsi menjelaskan sesuatu: (1) bayan al-I’tibar, berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi, (2) bayan al-I’tiqod berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan hati, (3) bayan al-‘ibaroh, berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan teks dan bahasa, (4) bayan al-kitab berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan konsep-konsep tertulis.[15]
Pada periode terakhir muncul al-Syatibi[16] memperbarui epistemologi bayani. Menurutnya bayani belum dapat memberikan pengetahuan yang qoth’i (pasti), tapi baru derajat dzonni (dugaan) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam bayani terdapat dua teori utama, yaitu istinbath dan qiyas. Keduanya masih bersifat dzonni, padahal penetapan hukum harus bersifat qoth’i sehingga beliau menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani.[17]Yaitu (1) al-Istintaj, sama dengan silogisme yaitu menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda dengan qiyas bayani yang menyandarkan furu’ pada ushul, yang dianggap tidak menghasilkan pengetahuan baru. Menurut al-Syathibi  pengetahuan Bayani harus dihasilkan melalui proses silogisme, karena semua dalilnya mengandung dua premis (nadzoriyah atau premis minor yang berbasis pada indera, rasio, penelitian, penalaran dan naqliyah atau premis mayor yang berbasis pada proses transmisi. (2) al-Istiqra’,  atau disebut juga tematic education merupakan penelitian terhadap teks/nash yang se-tema kemudian diambil tema pokoknya. (3) Maqashid al-syar’i merupakan diturunkannya syariat itu memiliki tujuan tertentu, yaitu ada tiga: (a) tujuan primer (dharuriyah), (b) tujuan sekunder (hajiyah), (c) tujuan tersier (tahsiniyah).[18]
Pada periode ini, metode bayani lebih sistematis dan sempurna, akan tetapi yang harus digarisbawahi adalah meskipun telah menggunakan rasio akan tetapi metode bayani tetap berpijak pada teks/ nash.
Berdasarkan aspek historis nalar Arab, sehingga kemudian al-Jabiri menggunakan istilah al-bayan sebagai nama salah satu epistemologi yang menurutnya untuk menguasai budaya Arab-Islam didasarkan pada keyakinan beragama, dalam hal ini Islam kemudian dibangun berdasarkan nash/teks, ijma’ dan ijtihad. Sehingga hasilnya terdapat dalam beberapa disiplin ilmu, seperti fiqih, ilmu kalam, ilmu nahwu, ilmu balaghoh dan beberapa disiplin keilmuan lainnya.
Jadi, dalam epistemologi bayani sebenarnya terdapat penggunaan rasio, akan tetapi masih relatif sedikit dan masih sangat tergantung pada teks yang ada. Epistemologi ini menempatkan akal sebagai sumber sekunder.
2.      Sumber Pengetahuan
Meskipun al-Syathibi menggunakan silogisme akan tetapi epistemologi bayani tetap berpijak pada teks/nash. Dalam ilmu ushul fiqh yang dimaksud dengan nash sebagai sumber pengetahuan bayani ada dua yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Oleh sebab itu metode bayani menaruh perhatian yang besar pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Apakah proses transmisi teks itu benar atau tidak sehingga pada masa tadwin muncul Imam Bukhori mensyaratkan diterimanya sebuah teks hadis sehingga muncul ilmu seperti mustholah al-hadis, rijal al-hadis, al-jarh wa at-ta’dil.
Sumber utama pengetahuan bayani adalah al-Quran, meskipun begitu nash al-Quran dibagi menjadi qoth’i dan zhanni. Sebaliknya petunjuk yang zhanni adalah nash yang menunjukkan atas makna yang membutuhkan takwil. Begitu pula as-Sunnah atau hadis juga memiliki konsep qoth’i dan zhanni, bukan hanya dari segi dilalahnya tapi juga riwayat.[19]
3.      Konsep Lafadz & Makna, Ushul & Furu’, Substansi & Aksidensi
Tidak terlepas dari bahwa epistemologi Bayani berkaitan dengan teks/nash dan berhubungan dengan realitas maka terdapat tiga persoalan pokok di dalamnya[20], yaitu:

a.      Konsep Lafadz & Makna
Kaitannya dengan lafadz dan makna, pembahasan ini meliputi dua aspek:
1)      aspek teoritis (nadzari)
Aspek ini lebih memfokuskan pada pembahasan seputar bahasa. Dalam aspek ini ada tiga permasalahan yaitu:
a)      apakah makna suatu lafadz didasarkan pada istilahi/konteks ataukah tauqifi/makna asli.
Muncul karena adanya perdebatan antara golongan Muktazilah dan ahli hadis.[21] Golongan yang menyatakan bahwa makna suatu lafadz didasarkan pada istilahi/konteks adalah golongan Mu’tazilah, karena kata bersifat mutlak. Sebaliknya, Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa makna lafadz didasarkan pada tauqifi. Dari sinilah ada konsekuensi lahirnya ilmu bahasa, khususnya ilmu nahwu yang berfungsi menjaga dari kemungkinan terjadinya penyimpangan makna.
b)      apakah boleh bahasa itu dianalogikan dari makna sesuatu kepada sesuatu yang lain.
Contoh dari permasalahan ini adalah seperti mengqiyaskan larangan memukul orang tua dengan larangan mengucapkan “uff” kepada kedua orang tua. Sebagaimana tercantum dalam Q.S al-Isra’:23. Dari sini kemudian nanti muncul ilmu ushul fiqh.
c)      seputar masalah asma al-syar’iyyah.
Kita telah mengetahui bahwa syariat Islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka yang jadi permasalahan disni adalah apakah maknanya ditentukan oleh kebudayaan Arab atau boleh menggunakan pendekatan lain. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yaitu:
(1)   pendapat pertama menyatakan bahwa makna lafadz ditentukan oleh pengertian dan kebudayaan Arab karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa al-Quran diturunkan menggunakan bahasa Arab.
(2)   Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh saja memaknai lafadz dengan takwil sebagaimana golongan Mu’tazilah. Sehingga dari sinilah nantinya muncul ilmu kalam.[22]
2)      aspek praktis (tathbiq)
Dalam aspek ini, pembahasan terfokus pada tafsir syara’. Hal ini juga lebih banyak dikembangkan oleh ulama ushul fiqh. Dalam prakteknya ada empat perspektif berbeda dalam melihat makna suatu lafadz, diantaranya:
(1)         perspektif kedudukan, lafadz itu ada yang ‘am, khas dan musytarak.
(2)         perspektif penggunaan (isti’mal), lafadz itu dapat bermakna hakikat dan majaz.
(3)         perspektif derajat kejelasan, lafadz itu dapat bermakna muhkam, mufassar, nash, dzahir, musykil, mujmal dan mutasyabih.
(4)         Perspektif metode dalalahnya, Menurut imam Syafi’i lafadz itu bisa memiliki makna dalalah al-manzhum dan dalalah al-mafhum, yang terdiri dari mafhum muwafaqah dan mukhalafah. Beberapa pedoman inilah yang selanjutnya menjadi sarana utama bagi bangunan hukum Islam yang dihasilkan fuqoha. [23]
b.      Konsep Ushul & Furu’
Kata ushul banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam ilmu nahwu misalnya, ada huruf ashliyah, merupakan huruf sebelum mengalami tambahan huruf lain. Sedangkan dalam ilmu kalam, Imam Syafi’i merumuskan tentang ‘ilm al-ushul dengan menetapkan empat sumber pokok agama Islam, yakni al-Quran, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[24] Al-Jabiri mengartikan ushul bukan sebgai dasar-dasar hukum fiqih akan tetapi sebagai proses penggalian pengetahuan.[25]Dari sinilah kemudian beliau membagi 3 macam posisi dan peran ushul dalam hubungan dengan furu’:
1)        Ushul sebagai sumber pengetahuan, dan cara mendapatkannya disebut dengan istilah istinbath yaitu menggali untuk mendapatkan sesuatu yang sama sekali baru. Sehingga nash memiliki kedudukan sebagai sumber pengetahuan.
2)        Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain, dan cara mendapatkannya disebut qiyas. Ada 2 macam qiyas:
(a)     Qiyas yang berlaku di kalangan fuqaha (ahli fiqh), disebut dengan qiyas ‘illat/qiyas far’ ‘ala ashl/qiyas al-ghaib ‘ala asy-syahid. Makna al-syahid disini adalah hukum yang terdapat  pada ushul, dan ghaib adalah sebagai furu’. Contoh: keharaman minuman wiski diqiyaskan/disamakan dengan keharaman minuman khamr atas dasar kesamaan illat. Misalkan salah satu ayat yang menyatakan keharaman khamr adalah Q.S al-Maidah: 90.
(b)     Qiyas yang berlaku di kalangan mutakallimin (ahli ilmu kalam), disebut dengan qiyas dalalah/istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghaib merupakan metode berpikir yang terdiri dari dua premis, kemudian dari keduanya diambil kesimpulan. Makna syahid menurut kalangan ini adalah manusia dan alam, dan makna ghaib berarti Allah. Jadi menurut mereka, jika kita ingin mendapatkan pemahaman tentang Allah, kita dapat memperoleh pemahaman terhadap manusia dan alam.
3)        Ushul sebagai pangkal dari proses pembentukan pengetahuan, dan cara mendapatkannya dengan menggunakan kaidah ushul fiqh. Contoh kaidah yang artinya: “segala sesuatu tergantung pada niatnya”.[26]
Membicarakan konsep ushul-furu’ ini, ada dua permasalahan yang menarik untuk dikaji:
1)        Kajian tentang otoritas tradisionalis/golongan salaf dalam kaitannya dengan sunnah/hadis
Dalam permasalahan ini terkait dengan bagaimana ushul menghasilkan furu’. Permasalahan ushul kaitannya dengan perspektif Imam Syafi’i tentang empat dasar pokok fiqh, yang memunculkan ilmu yang berkaitan dengan keberadaan hadis, yaitu ilmu Hadis. Permasalahan epistemologinya bukan terletak pada benar atau salahnya suatu hadis melainkan sah atau tidaknya proses transmisi hadis tersebut, sehingga memunculkan ilmu tentang macam-macam kualitas hadis seperti hadis mutawatir, ahad, shahih, hasan, gharib, marfu’, maqtu’, dha’if dan syadz. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa begitu besar peranan golongan salaf/tradisionalis dalam menentukan sah tidaknya ushul yang nantinya digunakan untuk memecahkan berbagai macam masalah keagamaan.
Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid, yaitu orang-orang yang dianggap berkompeten dalam menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalilnya. Inilah yang bisa dikatakan sebagai problematika pada ijma’ bahwa karena ijma’ hanya kesepakatan para mujtahid, yang lagi-lagi merupakan otoritas kalangan tradisionalis/kaum salaf.


2)        Masalah qiyas bayani dan problematika analisisnya
Sehubungan dengan masalah konstruksi qiyas, ada beberapa hal yang perlu dipaparkan seperti:
a)        Secara bahasa, qiyas diartikan sebagai penetapan sesuatu atas dasar persamaan  dengan sesuatu yang lain.
Dalam ilmu logika dan filsafat, qiyas disebut juga dengan silogisme. Meskipun begitu, kedua istilah ini memiliki perbedaan. Jika qiyas menyandarkan sesuatu masalah kepada masalah yang lain karena faktor kesamaan. Sedangkan silogisme merupakan kesimpulan dari dua premis (premis mayor dan minor).
b)        Qiyas itu tidak menghasilkan pengetahuan baru, akan tetapi menyimpulakan dari suatu hukum yang telah ada. Dalam fiqh, hukum yang dimaksud adalah hukum syara’. Dalam ilmu kalam disebut al-syahid.
c)        Berkenaan dengan proses atau langkah-langkah dari ashl ke furu’ dalam metode qiyas, didasari oleh asumsi para mujtahid. Maksudnya furu’ mempunyai sifat atau karakter yang sama dengan ushul, sehingga hukum furu’ pun disamakan dengan hukum ushul. Seperti contoh qiyas pengharaman minuman wiski yang disamakan dengan khamr sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
Jadi hasil dari qiyas adalah bersifat dzanni atau suatu karya ijtihadi bukan qath’i. Kalangan mutakallimin atau ahli ilmu kalam lebih menyukai menggunakan istilah istidlal. Karena menurut mereka qiyas memiliki makna tasyabbuh atau penyerupaan. Jika al-ghaib dalam hal ini Allah diqiyaskan dengan al-syahid/ manusia itu berarti menyamakan Allah dengan manusia. Oleh karena itu mereka memakai istilah istidlal yang memiliki makna penalaran terhadap pengetahuan yang ghaib yang didasarkan pada perintah-perintah dan iman atau i’tibar[27]. Mereka mengacu pada dalil Q.S al-Hasyr: 13 dan Q.S Ali-Imran: 13.
c.       Konsep Substansi & Aksidensi
Dari ketiga permasalahan ini persoalan tentang konsep substansi & aksidensi yang dipengaruhi dari faktor luar, yaitu oleh filsafat Yunani. Disebutkan oleh Muslih bahwa orang Islam yang pertama kali menggunakan kedua istilah ini adalah Abu Hudzil al-Allaf (w.235 H).[28]
Problematika atau permasalahan ini muncul pada mutakallimun yaitu ketika mereka mendiskusikan tentang ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Maka muncullah pertanyaan “sesuatu yang bagaimanakah itu?” Dari situ kemudian muncul perbincangan masalah ‘substansi’. Arti dari substansi adalah sesuatu yang sudah tidak dapat terbagi lagi, dalam bahasa Arab disebut dzarrah. Sedangkan aksidensi diartikan sebagai sesuatu yang tidak bisa berdiri sendiri.[29]
Selanjutnya muncullah setidaknya dua problematika tentang substansi dan aksidensi, diantaranya:
1)        Hubungan antara akal dan wujud, dan posisi keduanya, apakah akal merupakan substansi atau aksidensi begitu juga dengan wujud.
2)        Bagaimana hubungan antara subjek dan objek pengetahuan[30]
Berbeda dengan filsafat yang menganggap akal sebagai substansi, dalam epistemologi bayani akal dianggap sebagai aksidensi  yang tidak bisa berdiri sendiri. Lalu apa hubungan akal dengan wujud? Jawaban dari pertanyaan ini dimulai dengan jawaban dari pertanyaan “apa yang mungkin dipikirkan akal?”, bisa jadi jawaban yang mungkin dipikirkan akal adalah “yang ada” dan “yang tidak ada”. Sehingga dapat dipahami bahwa wujud merupakan akhbar dari kerja akal, maka ia disebut juga aksidensi sama halnya dengan akal.
Dalam ilmu kalam, logika dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan ‘argumen’ akidah saja, bukan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Sehingga premis-premis silogisme yang dijadikan sebagai penguat ‘argumen’ tersebut.
Jadi, bahwa sumber pengetahuan bayani adalah teks/nash, sedangkan peran akal hanya menjadi alat pembenar dari teks.
4.      Cara Mendapatkan Pengetahuan
Terdapat dua jalan yang ditempuh epistemologi bayani untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu:
a.       Berpegang pada redaksi nash dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Dan sebagai alat analisisnya menggunakan ilmu nahwu dan ilmu shorof.
b.      Metode qiyas (analogi) merupakan prinsip utama epistemologi bayani.
Dalam ilmu ushul fiqih, qiyas artinya menetapkan hukum suatu kasus keagamaan (syariat) yang belum ada ketetapan hukumnya, dengan suatu kasus lain yang sudah ada ketetapan hukum dari nash serta ijma’, dikarenakan adanya suatu persamaan di antara keduanya dari segi illat yang dijadikan pedoman dalam penetapan hukum.[31] Untuk melakukan qiyas ada beberapa hal yang harus dipenuhi, atau disebut juga dengan rukun qiyas yaitu adanya ushul, hukum ushul, furu’, ‘illat.
Menurut al-Jabiri, dalam epistemologi bayani sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan metode qiyas digunakan dalam tiga aspek:
a.       Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ushul maupun furu’.
b.      Qiyas yang berkaitan dengan illat yang ada pada ushul dan furu’ atau yang menunjukkan ke arah itu.
c.       Qiyas berkaitan dengan potensi/kecenderungan untuk menyatukan antara ushul dan furu’.[32]
Seorang pemikir golongan Muktazilah, Abd al-Jabbar menyatakan bahwa metode bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari nash tapi juga digunakan untuk menggali persoalan ghaib dengan melalui empat cara:
a.    Berdasarkan kesamaan dilalah (petunjuk)
b.    Berdasarkan kesamaan illat
c.    Berdasarkan kesamaan yang berlaku pada tempat illat
d.   Berdasarkan pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat lebih dibandingkan dengan yang empirik.[33]
5.      Implikasi Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam
Amin Abdullah mengatakan bahwa corak pemikiran keislaman model bayani sangat mendominasi dalam tradisi keilmuan agama Islam baik di perguruan tinggi agama Islam, umum, sekolah-sekolah terlebih di pondok pesantren.[34] Otoritas nash/teks yang dibakukan menjadi kaidah-kaidah ushul fiqh klasik lebih diunggulkan daripada otoritas keilmuan yang lain. Dominasi pola pikir yang seperti ini membuat sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual –bahtsiyah.
Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, epistemologi bayani berimplikasi terhadap komponen-komponennya, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a.       Tujuan pembelajaran dalam epistemologi bayani adalah peserta didik diharapkan dapat memahami isi kandungan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis serta menguasai bahkan mampu melakukan ijtihad.
b.      Pendidik dalam epistemologi bayani ini haruslah orang yang sudah menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan nash/teks dalam hal ini al-Quran dan al-Hadis, kaidah fiqh, gramatikal bahasa Arab.
c.       Peserta didik diartikan sebagai orang yang memerlukan bimbingan secara efektif dan intensif untuk memahami nash/teks.
d.      Kurikulum yang diberikan seperti pelajaran yang didalamnya terdapat materi dasar keyakinan, seperti al-Quran, Hadis, Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Ushul Fiqih.
e.       Metode yang digunakan adalah metode bayan atau penjelasan, melalui bacaan/narasi karena memang sumber pengetahuannya adalah nash/teks serta melalui otoritas guru.
f.       Evaluasi pembelajarannya dapat menggunakan argumen jadaliyah.
Adapun ringkasan dari penjelasan tentang epistemologi bayani dapat dilihat pada tabel berikut[35]:
Tabel 2.1
SKEMA EPISTEMOLOGI BAYANI
No
Struktur Fundamental
Epistemologi Bayani
1.
Sumber
Teks Keagamaan/nash
2.
Metode
Berpegang pada dzahir teks
-Qiyas al-ghaib ala al-syahid
-Qiyas al-far’u ala al-ushul
3.
Pendekatan
Bahasa
4.
Tema Sentral
Ushul-Furu’
Kata-Makna
5.
Validitas Kebenaran
Korespondensi
6.
Pendukung
Mutakallimun, fuqoha, ahli bahasa















B.       Epistemologi Burhani dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
1.      Perkembangan Epistemologi Burhani
Seperti halnya epistemologi bayani, pemaparan tentang epistemologi burhani dalam latar belakang yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan alat berupa rasio atau akal.
Secara bahasa (etimologi) kata burhan merupakan bahasa Arab yang senada dengan kata al-hujjah yang artinya bukti.[36] Dalam bahasa Inggris disebut demontration. Sedangkan dalam ilmu mantiq/logika, burhani merupakan kegiatan berpikir untuk menentukan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan dengan cara menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang telah terbukti kebenarannya. Dalam ilmu tafsir, burhani disebut juga dengan tafsir bi ar-ra’yi.[37]
Dalam bukunya Filsafat Ilmu, Muslih (2006) mengatakan bahwa burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.[38]
   Istilah Burhani sebenarnya lahir dari pemikiran filosof Yunani, Aristoteles. Aristoteles menyebut dengan metode analitis/tahlili sedangkan muridnya, Alexander Aphrodisi menggunakan istilah mantiq/logika, dan barulah ketika masuk ke khazanah pemikiran Islam (dunia Arab), al-Jabiri menggunakan istilah burhani. Cara berpikir Aristoteles tersebut masuk pertama kali dalam dunia pemikiran Islam melalui program penerjemahan buku filsafat pada masa khalifah al-Ma’mun yang menurut al-Jabiri hal ini menjadi tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab. Program penerjemahan dan kebutuhan terhadap metode burhani menjadi alasan karena saat itu banyak doktrin yang hiterodok.[39]  Untuk menjawab doktrin-doktrin tersebut maka dibutuhkan sistem berpikir rasional, karena epitemologi bayani sudah tak lagi mampu menjawab persoalan yang ada. ini Inilah yang kemudian menjadi sejarah asal-usul istilah burhani.
Al-Kindi (806-875 M) adalah sarjana muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani melalui karyanya yang berjudul “Falsafah al-Ula” tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat serta ungkapan ketidaksenangannya terhadap orang-orang pendukung bayani. Hal yang disayangkan adalah metode burhani yang ia perkenalkan tidak begitu dikenal, tetapi beliau paling tidak sudah mewariskan tentang kesejajaran antara pengetahuan manusia dengan Tuhannya serta permasalahan filsafat yang terus hidup sampai sekarang.
Metode Burhani semakin masuk sebagai suatu sistem pemikiran Islam setelah masa al-Razi (865-925 M), beliau adalah penganut paham rasionalis murni yang berpendapat bahwa “pada prinsipnya semua pengetahuan dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia”. Yang mana akal merupakan hakikat kemanusiaan yang menjadi satu-satunya alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang alam empiric dan konsep baik dan buruk. Menurut beliau, selain akal, sumber pengetahuan yang lain adalah omong kosong.
Setelah masa al-Farabi, metode burhani sungguh mendapat tempat dalam pemikiran Islam. Beliau berpendapat bahwa metode burhani adalah yang paling baik dan unggul, ilmu filsafat yang memakai metode burhani memiliki nilai lebih tinggi daripada ilmu-ilmu keagamaan yang tidak menggunakan metode burhani, seperti ilmu kalam dan fiqih.
2.      Bahasa dan Logika
Persoalan ini muncul ketika terjadi perdebatan antara Abu Said al-Syirafi, seorang ahli bahasa (893-979 M) dengan Abi Bisyr Matta (870-940 M) tentang konsep kata dan makna. Jika al-Syirafi berpendapat bahwa kata muncul terlebih dulu daripada makna, maka begitupun sebaliknya Matta berpendapat bahwa makna ada lebih dulu daripada kata atau dengan redaksi lain logika lebih dulu ada dibandingkan bahasa, logika lah yang menentukan bahasa. Hal ini diperkuat oleh al-Farabi yang mengatakan bahwa konsepsi intelektual pada dasarnya diambil dari objek-objek empirik yang ditangkap oleh indera.
Prinsip kerjanya adalah: (a) Adanya objek yang eksternal, (b) Terjadinya gambaran dalam pikiran, (c) Pengungkapan gambaran tersebut dalam bentuk bahasa/kata. Itu artinya adalah kata/bahasa merupakan hasil copy dari susunan makna dalam pikiran, dan makna dalam pikiran adalah hasil copy dari objek eksternal (benda  yang ada di alam semesta). Konsep ini menunjukkan bahwa sumber pengetahuan Burhani adalah rasio (dalil-dalil logika). Rasio memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat indera dengan cara tasawwur dan tashdiq.[40]
3.      Silogisme Burhani
Sehubungan dengan ketiga prinsip kerja konsepsi intelektual sebagaimana dijelaskan pada sub bab bahasa dan logika sebelumnya diatas, pembahasan tentang silogisme demonstratif/qiyas burhani menjadi penting. Secara bahasa, silogisme berasal dari bahasa Yunani sullogismos yang artinya mengumpulkan, penarikan kesimpulan. Yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi istilah qiyas jama’i. Silogisme demostratif (qiyas burhani) yang dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realita (bukan nash) serta diterima oleh akal.[41]
Untuk menerapkan silogisme ini, ada tiga tahapan yang harus dilewati menurut al-Jabiri sebagaimana dikutip dalam buku Filsafat Ilmu-Muslih[42]:
a.          Tahap pengertian (ma’qulat)
Adalah proses berpikir berdasarkan realita yang dihasilkan dari penginderaan untuk mendapatkan suatu gambaran. Menurut Aristoteles, pengertian selalu merujuk pada 10 kategori, meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.
b.         Tahap pernyataan (ibarat)
Adalah pengekspresian pengertian dalam kalimat yang disebut proposisi. Dalam prosposisi ini harus mengandung subjek (maudhu’) dan predikat (mahmul) yang membentuk satu pengertian dan mengandung kebenaran, sesuai dengan realita yang diinderakan.
c.          Tahap penalaran (tahlilat)
Adalah tahapan dimana silogisme digunakan. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi yang nantinya akan menjadi premis mayor (pertama) dan minor (kedua), sehingga dari keduanya dapat ditarik kesimpulan yang logis.
Silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premis. Serta ada hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan.
Ada tiga macam teori kebenaran, korespondensi, koherensi dan pragmatisme. [43] Sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh epistemologi burhani nampak ada kedekatan dengan teori koherensi. Epistemologi burhani menuntut pola penalaran yang sistematis, logis antar premis-premisnya juga koheren dengan realita yang ada.
Al-Jabiri berpendapat bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, akan tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme (qiyas) dapat juga disebut burhani jika memenuhi tiga syarat, akan tetapi syarat yang ketiga sajalah yang menjadi karakteristik silogisme burhani:
a.       Mengetahui penyebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis
b.      Adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan
c.       Kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti.[44]
Syarat premis burhani menurut al-Jabiri harus benar, dan syarat benar adalah yang meyakinkan. Beliau membagi materi premis silogisme dalam empat bentuk: (1) pengetahuan primer, (2) pengetahuan indera, (3) opini-opini yang umumnya diterima (masyhurat), (4) opini yang diterima (maqbulat). Dari keempat bentuk itu, tingkat kepercayaannya tidaklah sama tergantung syarat.[45] Sebuah premis dianggap mendekati keyakinan jika hanya mengacu kepada dua kriteria pertama dan dipercaya jika memenuhi kriteria pertama.
Dalam hirarki materi silogisme, “proposisi pengetahuan primer” menduduki posisi pertama karena memenuhi ketiga syarat premis yang meyakinkan. Premis-premis inilah yang digunakan dalam silogisme burhani, selain itu silogisme burhani juga menggunakan pengetahuan indera dengan syarat objek pengetahuan indera harus senantiasa sama saat diamati. Disusul dengan “proposisi yang umumnya diterima” (masyhurat) pada posisi kedua yaitu pada tingkat mendekati keyakinan (tidak sampai derajar meyakinkan), ini biasanya diakui atas dasar keimanan tanpa diuji secara rasional. Premis-premis ini digunakan oleh silogisme dialektika.[46]Sedangkan opini-opini yang diterima (maqbulat) adalah premis yang digunakan oleh metode retorik yang hanya menduduki posisi “dipercaya saja”, hanya diakui oleh sekolompok orang saja dan tidak ada penyelidikan lebih lanjut apakanh yang diterima itu memang demikian adanya atau tidak.
Model silogisme Aristoteles sering disebut silogisme kategorik yaitu terdiri dari beberapa komponen (premis mayor, premis minor, dan kesimpulan). Dalam istilah yang digunakan oleh skolastik terdapat beberapa bentuk silogisme, diantaranya:


a.       Term tengah menjadi subjek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor
1)      Model Barbara
Contoh:          Semua manusia fana               (premis mayor)
                       Plato adalah seorang manusia (premis minor)
                                                Plato fana                                (kesimpulan)
2)      Model Calerent
Contoh:          Tak ada ikan yang rasional
                       Semua hiu adalah ikan
                       Tak ada hiu yang rasional
3)      Model Dani
Contoh:          Semua manusia rasional
                       sebagian makhluk hidup adalah manusia
                       sebagian makhluk hidup rasional
4)      Model Ferio
Contoh:          tak ada orang Yunani berkulit hitam
                       sebagian manusia adalah orang Yunani
                       sebagian manusia tak berkulit hitam.
b.      Term tengah menjadi predikat baik pada premis mayor maupun premis minor
Contoh:    Semua hewan membutuhkan air
                 Tidak satupun benda mati membutuhkan air
                 Tidak satupun benda mati adalah hewan
c.       Term tengah menjadi subjek baik pada premis mayor maupun premis minor
Contoh:    Setiap manusia mempunyai rasa takut
                 tetapi setiap manusia adalah makhluk hidup
                 sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut.
Dengan berlandaskan logika Aristoteles, bebrapa metode yang dipakai epistemologi burhani adalah metode deduksi, induksi (istiqra’), konsep universalisme, universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas, maqashid al-syariah.
Jadi perbedaan mendasar antara epistemologi bayani dan burhani adalah jika bayani didasarkan pada lafadz sedangkan burhani didasarkan pada makna.
4.      Peran bagi Epistemologi Selanjutnya
   Jika dibandingkan dengan epistemologi bayani, yang menjadikan teks/nash sebagai prioritas utama maka burhani lebih menyandarkan diri dari kekuatan rasio/akal yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Jadi akal/rasio lah yang menjadi sumber pengetahuan burhani, bukan teks ataupun intuisi. Akal/rasio itulah yang memberikan penilaian dan keputusan yang telah diyakini kebenarannya.
Dalam al-Quran banyak disebutkan bahwa manusia diperintah untuk menggunakan nalarnya.[47] Hal ini membuktikan bahwa akal kita mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan sebagaimana mestinya.
Adapun ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai al-‘ilm al-husuli, yaitu ilmu  yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan melalui premis-premis logika/mantiq, bukan melalui otoritas nash/teks atau salaf dan juga bukan melalui intuisi. Premis-premis tersebut disusun melalui kerjasama antara proses abstraksi dengan  penginderaan yang benar atau dapat juga menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan  indera seperti alat-alat laboratorium, penelitian lapangan.[48]
Peran akal dalam epistemologi ini sangat menentukan karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Untuk mencari sebab-musabab yang terjadi terhadap peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak membutuhkan nash/teks keagamaan. Untuk memahami realita itu cukup dengan pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah. Konstruksi pemanfaatan ilmu sosial seperti ini merupakan konstruksi M.Arkoun, akal bukan untuk pengukuh nash/teks seperti dalam epistemologi bayani melainkan untuk menganalisis dan menguji secara kontinu terhadap hipotesis dan teori yang dirumuskan melalui premis logika keilmuan.[49]
Menurut Suhrawadi (1154-1192 M) dalam buku A.Khudori-kekurangan epistemology burhani adalah:
a.       Ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati burhani.
b.      Ada eksistensi di luar pikiran yang bisa dicapai nalar tetapi tidak bisa dijelaskan oleh burhani, seperti soal bau, warna, rasa atau bayangan.
c.       Prinsip burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut lain sehingga tidak aka nada absurditas. Akan tetapi nyatanya burhani tidak bisa menyingkap seluruh realita yang ada di alam semesta.[50]
Sehingga muncullah metode baru yang disebut iluminasi (isyraqi) yang pada perkembangan selanjutnya muncul metode kelima yaitu filsafat transenden (hikmah al-muta’aliyah) yang dictuskan Mulla Sadra (1571-1640 M) yang memadukan bayani, burhani dan irfani.
5.      Implikasi Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam
Jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, epistemologi burhani berimplikasi terhadap komponen-komponennya, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a.       Tujuan pembelajaran dengan epistemologi burhani ini adalah untuk membangun penalaran peserta didik serta memadukan penginderaan dengan rasio peserta didik agar mereka memiliki kecermatan dan logika yang kritis.
b.      Pendidik adalah orang yang memiliki pola pikir logis-empirik, serta mampu melakukan penelitian. Seperti ahli mantiq, fisikawan, ilmuwan.
c.       Peserta didik dianggap sudah mampu berpikir, dapat menggunakan nalar/rasionya dalam mengaplikasikannya dalam pembelajaran (kritis).
d.      Kurikulum yang diberikan adalah seperti ilmu-ilmu kelaman dan sosial seperti Ilmu Pengetahuan Alam (Biologi, Fisika, Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi) serta ilmu yang mengandung penalaran (silogisme) seperti ilmu kalam.
e.       Metode yang digunakan adalah metode analisis-diskusi, penggunaan nalar seperti melakukan dilaog kritis.
f.       Evaluasinya adalah peserta didik dapat berpikir logis dan kritis.
Mengacu pada buku filsafat ilmu, Muslih menggambarkan secara ringkas skema epistemologi burhani sebagaimana berikut[51]:
Tabel 2.2
SKEMA EPISTEMOLOGI BURHANI
No
Struktur Fundamental
Epistemologi Burhani
1.
Sumber
Rasio
2.
Metode
Silogisme
3.
Pendekatan
Logika
4.
Tema Sentral
Esensi-Aksistensi
Bahasa-Logika
5.
Validitas Kebenaran
Koherensi
Konsistensi
6.
Pendukung
Filosuf









  
BAB III
PENUTUP
A.          Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pemikiran al-Jabiri kaitannya dengan epistemologi Islam terbagi menjadi tiga, dua diantaranya adalah bayani dan burhani. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kedua epistemologi tersebut memberikan sumbangsih yang besar terhadap disiplin ilmu pendidikan Islam.
1.      Perkembangan Epistemologi Bayani
Secara historis, perkembangan epistemologi bayani dimulai dari “bawah”, berawal dari sekedar upaya pemisahan kata dalam al-Quran sampai menjadi metode berpikir sistematis untuk menggali pengetahuan dan menyampaikannya kepada pendengar.
Sumber pengetahuannya adalah al-Quran dan al-Hadits, keduanya tidak senantiasa bersifat qoth’i tetapi kadang juga bersifat zhanni. Persoalan pokok yang diangkat mencakup tiga, yaitu konsep lafadz-makna, ushul-furu’, substansi-aksidensi. Pengetahuan bayani didapat dengan dua cara: berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji dengan analisis bahasa serta metode qiyas. Analogi bayani tidak terbatas pada teks tapi juga digunakan untuk memahami realita non-empirik.
Karena hanya mendasarkan diri pada teks, epistemologi bayani hanya terbatas karena fokus pada sesuatu yang bersifat aksidental bukan substansial, sehingga kurang dinamis dalam mengikuti sejarah dan sosial masyarakat. Sehingga pada kenyataannya pemikiran Islam yang banyak didominasi bayani fiqhiyah kurang dapat mengimbangi perkembangan peradaban dunia.
2.      Implikasi Epistemologi Bayani terhadap Pendidikan Islam
26
 
Bayani bisa dikatakan sebagai fase dasar dan permulaan. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran, Tujuan pembelajaran dalam epistemologi bayani adalah pemahaman terhadap isi kandungan nash serta mampu melakukan ijtihad. Sedangkan pendidik adalah orang yang sudah menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan nash/teks, kaidah fiqh, gramatikal bahasa Arab. Peserta didik diartikan sebagai orang yang memerlukan bimbingan secara efektif dan intensif untuk memahami nash/teks. Kurikulum yang diberikan seperti pelajaran yang didalamnya terdapat materi dasar keyakinan. Metode yang digunakan adalah metode bayan, melalui bacaan dan juga melalui otoritas pendidik. Evaluasi pembelajarannya dapat menggunakan argumen jadaliyah.
3.      Perkembangan Epistemologi Burhani
Berbeda dengan epistemologi bayani, sumber pengetahuan  epistemologi burhani adalah akal/rasio. Sebenarnya epistemologi ini ada kesamaan dengan paham rasionalisme yang mengagungkan akal. Mereka berpendapat bahwa makna datang lebih dahulu dibandingkan dengan lafadz. Karena makna datang dari sebuah konsep pemikiran yang diaktualisasikan menjadi lafadz.
Epistemologi burhani ini bisa dikatakan telah berjasa dalam mengembangkan pemikiran filsafat (baca: epistemologi bayani dan irfani) serta menjadi penopang utama dua epistemologi berikutnya (baca: iluminasi/isyraqiyah dan al-hikmah al-muta’aliyah/filsafat transenden). Mengutip perkataan Aristoteles yang mengatakan bahwa Burhani dapat mengembangkan metode dan pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari metode dan faktor lain.
4.      Implikasi Epistemologi Burhani terhadap Pendidikan Islam
Burhani merupakan fase pengembangan dan perubahan. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran, tujuan pembelajaran dalam epistemologi burhani ini adalah membangun nalar peserta didik agar mereka kritis. Pendidik haruslah orang yang memiliki pola pikir logis-empirik. Peserta didiknya sudah bisa berpikir kritis. Kurikulum yang diberikan adalah seperti ilmu-ilmu kelaman dan sosial. Metode yang digunakan adalah metode analisis-diskusi. Evaluasinya menggunakan logika peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Bisri, Moh.Adib. t.tt. Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh. Kudus: Menara.
Khudori, A. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Qomar, Mujamil. t.tt. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Sofyan, Ayi. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka Setia.
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka.
28
 
Tim Penyusun Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). 2008. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siswa 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP.Lirboyo.


[1]Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 212.
[2]Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), hlm. 32.
[3]Opcit., hlm. 219.
[4]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, t.tt), hlm. 222.
[5]Muhammad ‘Abid al-Jabiri, lahir di Maroko pada tahun 1936. Merupakan pemikir muslim kontemporer. Beliau memperoleh gelar doktor di Universitas al-Khamis, Rabat, Maroko. Dan sejak tahu 1976 beliau menjadi dosen bidang filsafat dan pemikiran Islam pada fakultas sastra di kampus yang sama.
[6]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2004), hlm. 162.
[7]A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 125.
[8]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 163.
[9]Ibid., hlm. 163.
[10]Yaitu ditandai dengan lahirnya karya Muqatil ibn Sulaiman yaitu al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Quran al-Karim dan karya Ibn Ziyad al-Farra’ yaitu Ma’ani al-Qur’an. Lihat A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 178.
[11]Beliau dianggap sebagai peletak dasar aturan penafsiran wacana bayani juga dianggap sebagai perumus nalar Islam, khususnya nalar Arab. Beliau mengguanakan hukum-hukum Arab untuk menafsirkan nash/teks sehingga salah satu sumber penalarannya yang disebut qiyas menjadi acuan untuk memecahkan problematika keagamaan dalam masyarakat. Lihat Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 164.
[12](1) bayan yang tidak memerlukan penjelasan, (2) bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan hadis, (3) bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan membutuhkan penjelasan hadis, (4) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran namun ada dalam hadis, (5) bayan yang tidak ada di keduanya, baik dalam al-Quran maupun hadis yang kemudian beliau memunculkan qiyas sebagai metode ijtihad. Lihat Muslih, Filsafat Ilmu, hlm 164. Juga A,Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 178.
[13]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 165. Dalam buku A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Ilmu, hlm. 179 disebutkan bahwa al-Jahizh memberi 5 syarat kepada bayani, syarat kelima yaitu adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri. 
[14]seangkatan dengan al-Farabi, beliau adalah pengarang kitab al-Burhan fi wujuh al-Bayan.
[15]A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 180.
[16]Al-Syatibi adalah seorang tokoh utama dari madzhab Maliki. Beliau lahir di Kordoba, Spanyol. Wafat pada tahun 1388M. Lihat Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 166. Juga A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 180.
[17]Ketiga teori ini merupakan hasil eliminasi dari pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Hazm.
[18]Ibid., hlm. 181.
[19]Selengkapnya baca A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 183.
[20]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 169. Lihat Juga A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 183-187.
[21]A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 184. Sedangkan dengan redaksi berbeda, dalam Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 169 yang berdebat adalah golongan Muktazilah dan Asy’ariyah.
[22]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm.169. Lihat juga dalam A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 185, dalam buku ini disebutkan bahwa pendapat pertama ini dikemukakan oleh al-Baqilani dan yang kedua oleh golongan Muktazilah.
[23]Ibid., hlm. 170.
[24]Muslih, Filsafat ilmu, hlm. 170.
[25]A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 185.
[26]الآموربمقاسدها adalah kaidah ushul fiqh yang artinya segala sesuatu tergantung pada niatnya. Lihat Moh.Adib Bisri, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawaid Fiqh (Kudus: Menara, t.tt), hlm.1.
[27]Dalam bahasa Arab i’tibar berarti: mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya.
[28]Beliau menggunakan istilah al-jauhar al-fard untuk substansi dan al-‘ardl untuk aksidensi. Lihat Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 175.
[29]Ibid.,hlm. 175.
[30]Ibid., hlm. 175.
[31]Tim Penyusun Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien), hlm. 132.
[32]Untuk selengkapanya baca A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 188-189.
[33]Ibid., hlm. 189-190.
[34]Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: 2010), hlm. 373.
[35]A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 236.
[36]Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 80.
[37]Tafsir bi ar-ra’yi adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada rasio semata. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 488.
[38]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 190.
[39]Selengkapnya lihat A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 220.
[40]Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera. Tashdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut. Lihat A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 223-224.
[41]Ibid., hlm. 191-192.
[42]Muslih, Filsafat Ilmu, hlm. 192.
[43]Amin Abdullah mengartikan korespondensi yaitu kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Koherensi: Keruntutan dan keteraturan berpikir logis. Pragmatik: Upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-rumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah manusia. Lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 386.
[44]Muslih, Filsafat ilmu, hlm. 193. Baca juga A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 225.
[45]Tiga syarat sebuah premis dikatakan meyakinkan: a) kepercayaan bahwa premis itu berada, b) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain, c) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Lihat A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 225.
[46]Adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertaraf mendekati keyakinan.
[47]Berbagai redaksi yang Allah gunakan seperti ayat yang memiliki akhiran “ta’qilun”, “ta’lamun”, “tatafakkarun”, tadabbarun”.
[48]Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 384.
[49]Dalam epistemologi ini, akal lebih fokus untuk difungsikan agar membentuk budaya melakukan penelitian. Lebih jelasnya lihat Amin Abdullah, Islamic Studies, hlm. 385.
[50]A.Khudlori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 228.
[51]A.Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 236.

0 komentar:

Posting Komentar