Kamis, 24 Desember 2015

PANDANGAN TEORI HUMANISTIK TERHADAP PROSES BELAJAR DAN APLIKASINYA DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN
Makalah
Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Evaluasi Matrikulasi Tahun Akademik 2015/2016
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam





Oleh:
1.     Safi’i                                                     (084 9315 001)
2.     Fakhriyatus Shofa Alawiyah                    (084 9315 003)
3.     Nur Wahidah                                          (084 9315 004)


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) JEMBER
Agustus, 2015


 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam proses pendidikan di sekolah, aktivitas yang paling utama adalah proses pembelajaran. Suatu tujuan pendidikan dapat tercapai itu tergantung pada proses pembelajaran yang terjadi secara efektif. Dalam proses pembelajaran itu, pendidik dalam hal ini guru merupakan komponen yang paling penting yang menjadi tonggak keberhasilan dalam proses pembelajaran. Bahwa pemahaman guru terhadap pengertian baik teori belajar maupun pembelajaran akan sangat mempengaruhi metode atau cara guru itu mengajar.
Ada banyak sekali macam teori pembelajaran, seperti teori behavioristik, kognitif, konstruktivistik, humanistik, sibernetik, revolusi-sosiokultural dan kecerdasan ganda, penting untuk diketahui dan dimengerti sesuai dengan situasi, kondisi dan konteks pembelajaran yang dihadapi.[1]
Dari beberapa teori yang telah disebutkan diatas, di dalam makalah ini akan dibahas tentang salah satu dari teori-teori tersebut yakni teori humanistik. Teori ini mempelajari perilaku belajar peserta didik dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Berbeda dengan teori belajar konstruktivistik, teori humanistik lebih menekankan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemahaman tentang teori humanistik baik pengertian belajar menurut teori humanistik, tokoh-tokoh yang menganut aliran humanistik, serta aplikasi teori humanistik dalam proses pembelajaran ini, akan dibahas lebih lanjut pada bab pembahasan.


 

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengertian belajar menurut teori humanistik?
2.    Siapa saja tokoh-tokoh yang menganut aliran humanistik?
3.    Bagaimana aplikasi teori humanistik dalam proses pembelajaran?

C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menjelaskan pengertian belajar menurut teori humanistik.
2.      Untuk menyebutkan  tokoh-tokoh yang menganut aliran humanistik.
3.      Untuk mendeskripsikan  aplikasi teori humanistik dalam proses pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pandangan teori humanistik terhadap proses belajar
Sebelum membahas tentang proses belajar menurut teori humanistik, berikut ini akan dipaparkan tentang apa itu humanistik. Humanistik adalah suatu teori yang tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.[2]
Teori humanistik merupakan teori yang membahas tentang proses belajar yang harus dimulai untuk mencapai tujuan memanusiakan manusia. Oleh karena itu, proses belajar dapat dianggap berhasil, apabila peserta didik telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, peserta didik dan proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing diri peserta didik untuk lebih mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Pendidik yang menganut aliran humanistik juga mencoba untuk membuat  pembelajaran yang membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik biasanya berpikir seberapa besar hal yang dapat mereka lakukan agar dapat membantu peserta didiknya agar menjadi lebih baik. oleh sebab itu, tampak bahwa dalam teori humanistik ini lebih mengutamakan emosi. Karena emosi merupakan salah satu potensi terbesar manusia. Sehingga mereka berpikir bahwa pendidikan emosi lebih baik daripada pendidikan kognisi.
Dalam Islam dijelaskan bahwa


pendidikan yang humanistik memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu.[3] Dengan pendidikan humanistik, seorang pendidik memiliki tanggung jawab moral berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya dalam hal ini peserta didik.
Teori humanistik lebih mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar, teori ini banyak berbicara tentang teori pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. [4]
Setiap teori atau pendekatan pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Begitu juga dengan teori humanistik yang bersifat eklektik. Teori ini beranggapan bahwa berbagai jenis teori belajar dapat digunakan asalkan tujuannya kembali kepada konsep memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia yang dimaksud adalah mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.[5] Jadi menurut teori humanistik, seorang pendidik sah-sah saja menggunakan berbagai macam teori asal tujuan “memanusiakan manusia” tercapai.

B.       Tokoh-tokoh yang menganut aliran humanistik
Secara teoritik, banyak sekali tokoh-tokoh penting dalam teori belajar humanistik, diantaranya:
1.        Kolb
Sebagai tokoh aliran humanistik, dia telah membagi belajar menjadi beberapa tahap atau yang terkenal dengan konsep “belajar empat tahap”. Yaitu: a) tahap pengalaman konkret, b) tahap pengamatan aktif dan reflektif, c) tahap konseptualisasi, d) tahap eksperimentasi aktif.[6] Kolb menggambarkan bahwa keempat tahapan belajar itu terjadi secara berkesinambungan diluar kesadaran orang yang belajar.
Jika dilihat secara teori, keempat tahapan ini dapat dipisah. Akan tetapi pada kenyataannya proses peralihan keempat tahapan itu sulit ditentukan kapan terjadi karena seringkali terjadi begitu saja. Berikut ini akan dijelaskan keempat tahapan tersebut.
a.         tahap pengalaman konkret
Tahap pertama seseorang dalam peristiwa belajar adalah mengalami suatu kejadian atau peristiwa sebagaimana adanya, baik mengalami dengan cara melihat, mendengar maupun merasakannya. Dalam tahap ini, seseorang juga mampu menceritakan kejadian atau peristiwa tersebut sesuai dengan yang dialami, namun belum dapat memahami ataupun memiliki kesadaran tentang apa hakikat atau hikmah dari peristiwa yang telah terjadi tersebut.
b.        tahap pengamatan aktif dan reflektif
Setelah seseorang mengalami suatu peristiwa, semakin lama ia akan mampu melakukan pengamatan secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia akan berusaha berpikir mencari jawaban tentang hakikat atau hikmah apa yang terkandung dalam peritiwa yang telah ia alami. Refleksi yang semakin lama semakin berkembang tentang berbagai pertanyaan seperti bagaimana peristiwa ini terjadi, mengapa peristiwa ini terjadi. Kemampuan seperti ini yang dimiliki dan terjadi pada seseorang pada tahap kedua  dalam proses belajar.
c.         tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam proses belajar adalah tahap konseptualisasi. Pada tahap ini seseorang sudah mampu untuk mengembangkan suatu teori, konsep maupun hukum tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya atau objek yang ia pelajari. Dengan pengalaman dari berbagai peristiwa yang dialaminya, ia sudah mampu berpikir induktif, artinya ia mampu merumuskan suatu aturan umum atau men-generalisasikan peristiwa yang ia alami.
d.        tahap eksperimentasi  aktif
Tahap belajar yang terakhir menurut Kolb adalah melakukan  eksperimentasi secara aktif. Dimana seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep, teori ataupun dalil dalam kehidupan nyata. Jika pada tahap konseptualisasi seseorang berpikir secara induktif, maka pada tahap terakhir ini seseorang telah mampu berpikir secara deduktif. Ia sudah tidak hanya mempertanyakan asal-usul teori-teori yang ada akan tetapi ia sudah dapat menggunakan atau mengaplikasikan teori tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi, bahkan yang belum pernah ia temui sebelumnya.
2.    Hubermas
Menurut Hubermas, kegiatan belajar akan terjadi jika ada interaksi antara manusia dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial. Kedua lingkungan tersebut tak dapat dipisahkan. Sehingga ia membagi tipe atau macam belajar menjadi tiga, yaitu: a) belajar teknis (technical learning), b) belajar praktis (practical learning), c) belajar emansipatoris (emansipatory learning).[7] Berikut ini akan dijelaskan karakteristik dari masing-masing ketiga tipe belajar tersebut.
a.         Belajar Teknis (Technical Learning)
Merupakan tipe belajar orang-orang yang berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Ilmu pengetahuan alam atau sains merupakan ilmu yang dibutuhkan dalam tipe belajar ini untuk memahami lingkungan alam sekitarnya dengan baik.
b.        Belajar Praktis (Practical Learning)
Merupakan tipe belajar orang-orang yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekitarnya. Bidang ilmu pengetahuan sosial seperti antropologi, sosiologi, psikologi atau komunikasi dibutuhkan untuk menciptakan interaksi yang baik antar sesama manusia. Akan tetapi mereka juga menyadari bahwa interaksi dengan lingkungan alam juga tidak bisa terpisahkan dengan kepentingan manusia sehingga interaksi yang benar antara manusia dengan lingkungan alamnya akan tampak jika hubungan atau interaksinya dengan kepentingan manusia.
c.         Belajar Emansipatoris (Emansipatory Learning)
Berbeda dengan kedua tipe belajar diatas, belajar emansipatoris lebih menekankan pada usaha seseorang untuk memahami dan menyadari perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Sehingga bidang ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa diperlukan dalam tipe belajar ini. Karena dengan keterampilan dan sikap yang benar seorang individu dapat mendukung terjadinya transformasi budaya tersebut.
Menurut Habermas dari ketiga tipe belajar tersebut, tipe belajar emansipatoris (emansipatory learning) merupakan tipe belajar tertinggi karena tujuan pendidikan yang paling tinggi menurutnya adalah transformasi budaya dengan cara memahami dan menyadari perubahan budaya.
3.        Honey dan Mumfrod
Kedua tokoh ini termasuk dalam daftar tokoh yang menganut aliran humanistik. Dengan diilhami dari konsep empat tahap belajar yang dikemukakan Kolb, kedua tokoh ini mengelompokkan orang yang belajar ke dalam empat golongan, yaitu: a) kelompok aktivis, b) kelompok reflektor, c) kelompok teoritis, d) kelompok pragmatis.[8] Masing-masing dari kelompok itu memiliki ciri dan karakteristik tersendiri sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini:
a.         kelompok aktivis
Yang dimaksud kelompok aktivis adalah yang terdiri dari orang-orang yang senang melibatkan dirinya serta berpartisipasi aktif dalam berbagai macam kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman yang baru. Sisi positif yang mereka miliki seperti mudah diajak untuk berdialog, mempunyai pemikiran terbuka, menghargai pendapat serta mudah percaya pada orang lain. Sedangkan di sisi lain biasanya mereka memiliki sifat jika melakukan tindakan tidak dipikirkan apa akibat yang ditimbulkan atau dengan kata lain kurang pertimbangan.
Dalam kegiatan belajar, kelompok ini termasuk orang-orang yang senang dengan penemuan yang baru (inovasi) seperti pengalaman maupun pemikiran yang baru. Sehingga metode yang tepat untuk kelompok ini adalah metode problem solving, brainstorming. Akan tetapi kelompok ini biasanya juga sering merasa bosan jika kegiatan yang mereka lakukan memakan waktu lama.
b.    kelompok reflektor
Berasal dari kata refleksi yang berarti berpikir, kelompok reflektor ini merupakan kebalikan dari kelompok aktivis. Kelompok ini lebih banyak pertimbangan dan berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan. Bisa dikatakan kelompok ini tidak ceroboh karena dalam melakukan tindakannya kelompok ini penuh dengan pertimbangan, segala hal dipertimbangkan sehingga kelompok ini lebih bersifat konservatif atau kolot.
c.    kelompok teoritis
Dibandingkan dengan kelompok sebelumnya, kelompok ini cenderung lebih tegas dan tidak mudah terpengaruh dengan orang lain. Kelompok ini disebut juga dengan kelompok yang sangat kritis. Karena segala tindak tanduk perbuatan mereka, dikembalikan kepada teori-teori atau dalil. Dengan karakteristik suka berpikir rasional, menganalisis, penuh pertimbangan sehingga cenderung skeptis atau kurang percaya serta tidak menyukai terhadap sesuatu yang bersifat spekulatif (pendapat yang tidak sesuai dengan kenyataan).

d.   kelompok pragmatis
Pragmatis artinya praktis. Begitu juga dengan kelompok ini disebut dengan pragmatis karena mereka tidak menyukai sesuatu yang sifatnya bertele-tele. Mereka praktis dan tidak suka berpanjang lebar dengan teori, konsep, aturan maupun dalil-dalil. Menurut mereka sesuatu hanya bisa menjadi bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, aturan, maupun dalil memanglah penting, akan tetapi jika tidak dipraktekkan akan percuma atau sia-sia.
4.        Bloom dan Karthwohl
Kedua tokoh ini lebih menekankan pada apa yang seharusnya dikuasai individu sebagai tujuan belajar, setelah melalui peristiwa belajar.[9] Bloom mengemukakan bahwa tujuan belajar dirangkum ke dalam tiga kawasan yang lebih dikenal dengan sebutan “taksonomi Bloom”. Hasil pemikiran Bloom inilah yang banyak memberikan inspirasi kepada para pakar atau tokoh pendidikan dalam mengembangkan berbagai teori maupun praktek pembelajaran. Melalui taksonomi Bloom pula para pendidik dapat merumuskan tujuan pembelajaran serta merancang program-program pembelajaran.
Khususnya di Indonesia taksonomi Bloom ini memberikan kontribusi yang besar dalam pelaksanaan pendidikan. Adapun ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom itu adalah sebagai berikut:
a.         ranah kognitif
Ranah ini merupakan ranah yang berhubungan dengan aspek pengetahuan intelektual. Pada Ranah ini terdiri dari 6 tingkatan, yaitu:
1)      pengetahuan
Pada tingkatan ini, peserta didik diharapkan mampu untuk mengingat sampai menghafal.
2)      pemahaman
Pada tingkatan ini, setelah memahami materi peserta didik diharapkan mampu menginterpretasikan atau menafsirkan kembali materi yang telah diberikan.
3)      aplikasi
Pada tingkatan ini peserta didik diharapkan mampu menggunakan konsep yang ada untuk memecahkan suatu masalah (problem solving).
4)      analisis
Pada tahap ini, diharapkan peserta didik mampu menjelaskan atau menjabarkan konsep, teori yang telah ada.
5)      sintesis
Artinya menggabungkan bagian-bagian konsep sehingga menjadi konsep yang utuh.
6)      evaluasi
tahap akhir dari ranah ini adalah evaluasi, yaitu dengan cara membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dan sebagainya.
b.        Ranah afektif
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi seperti minat. Ranah ini terdiri dari 5 tingkatan, yaitu:
1)      pengenalan
2)      merespon
3)      penghargaan
4)      pengorganisasian
5)      pengamalan
c.         Ranah psikomotor
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti menulis. Ranah ini terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:
1)      peniruan
2)      penggunaan
3)      ketepatan
4)      perangkaian
5)      naturalisasi
5.      Arthur Combs
Bersama dengan Donald snygg, mereka banyak mencurahkan banyak perhatian dalam dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, pendidik tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan  kehidupan mereka.
Berdasarkan kajiannya, Combs menyatakan bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan peserta didik tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Dalam hal ini yang penting adalah bagaimana membawa persepsi peserta didik untuk memperoleh makna belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupanya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pandangan pendekatan pembelajaran kontekstual yang menghubungkan materi pembelajaran dengan dunia nyata peserta didik.[10]
6.      Abraham Maslow
Abraham Maslow lahir di Brooklyn, New York tanggal 1 April 1908 merupakan salah satu tokoh penting dalam teori humanistik. Dalam pembelajaran Maslow  mengatakan bahwa di dalam diri individu ada dua hal yaitu:
a.       usaha positif untuk berkembang
b.      kekuatan untuk menolak perkembangan.
Maslow memiliki pandangan yang positif  tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya  mempunyai potensi untuk maju dan berkembang. Manusia akan mengalami pematangan melalui lingkungan yang menunjang dan usaha aktif dari diri sendiri untuk merealisasikan potensinya. Manusia yang melakukan kekerasan pada dasarnya karena kodrat batinnya dibelokkan atau karena lingkungan yang salah. Karena itu maslow tidak meneliti orang yang mengalami gangguan jiwa dan cidera otak, melainkan meneliti orang yang sehat dan kreatif untuk mengetahui ciri- ciri orang yang kreatif dan berhasil mengaktualisasikan diri.
Maslow yakin bahwa banyak tingkah laku manusia yang bisa diterangkan dengan memperhatikan tendensi individu untuk mencapai tujuan- tujuan personal yang membuat kehidupan bagi individu yang bersangkutan penuh makna dan memuaskan. Maslow melukiskan manusia sebagai makhluk yang pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan- kebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut pemuasan, begitu seterusnya.[11]
Maslow juga mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarki. Kebutuhan untuk tingkat yang paling rendah yaitu tingkat untuk bisa survive atau mempertahankan hidup dan dan rasa aman, dan ini adalah kebutuhan yang paling penting.[12] Konsep terpenting dari maslow adalah keyakinannya yang positif terhadap diri manusia. Manusia memang pada dasarnya baik, juga kreatif dan mempunyai potensi diri untuk maju dan mengembangkan diri. Manusia dimotivasi oleh beberapa kebutuhan yang dimana  senantiasa dapat menggerakkan seseorang untuk berusaha mencapai tujuan yang telah ditentukan.  Syarat terbentuknya kreativitas dan etos kerja yang tinggi adalah terpenuhinya beberapa kebutuhan-kebutuhan yang pertama kali harus terpenuhi adalah kebutuhan dasar atau kebutuhan fisiologis yang meliputi sandang, pangan dan papan sebagai syarat terpenuhinya kebutuhan yang lebih tinggi. [13]
Implementasi teori Maslow dalam dunia pendidikan yaitu, guru dan orang tua, serta dewasa lain perlu mengupayakan kebutuhan dasar agar kebutuhan lain yang tinggi juga terpenuhi. Olahraga, istirahat cukup, udara yang sejuk makanan yang bergizi juga sangat penting untuk diperhatikan. Itulah sebabnya di sekolah terdapat bidang studi olahraga dan kesehatan, juga diberikan waktu istirahat disela- sela pelajaran. Itu semua merupakan sebagaian upaya mendorong terpenuhi kebutuhan fisiologi anak.[14]
7.      Carl Rogers
Rogers adalah salah seorang peletak dasar dari gerakan potensi manusia, yang menekankan pada perkembangan pribadi melalui latihan sensivitas, kelompok pertemuan, dan latihan lainnya yang bertujuan untuk membantu orang agar memiliki pribadi yang sehat. Dia membangun teorinya berdasarkan praktik interaksi terapeutik denngan para pasiennya. Karena memang dia menekankan teorinya kepada pandangan subyektif seseorang. Sehingga teorinya dinamakan “person-centered theory”.[15]
Implementasi teori rogers ini ialah setiap pendiidk memiliki tanggung jawab besar untuk mendorng peserta didik agar menjadi manusia yang berkembang utuh sesuai yang diharapkan. Belajar peserta didik akan berguna bila sesuai dengan kondisi pribadi peserta didik dan relevan dengan karakter, dan perkembangannya. Peran guru disi hanya sebagai fasilitator, [yang bertugas menyiapkan kondisi agar peserta didik memiliki kebebasan mengembangkan emosi, intelektual dan motoriknya. [16]
Carl Rogers seorang ahli psikologi humanistik yang mempunyai ide-ide mempengaruhi pendiidkan dan penerapannya. Dia menganjurkan pendekatan pendiidkan sebaiknya mencoba membuat belajar dan mengajar lebih manusiawi, lebih personal, dan berarti.
Pendekatan rogers dapat dimengerti dari prinsip- prinsip penting belajar humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dari filsafat pendidikannya.
a.      Keinginan untuk belajar (the desire to learn)
Pada prinsip yang pertama ini rogers percaya bahwa manusia secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar. Keingintahuan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asusmsi dasar yang penting untuk pendidikan humaistik. Anak diberi kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tak isa dihalangi, untuk menemukan diri sendiri, serta apa yang penting dan berarti apa yang ada di dunia yang mengelilingi mereka.
b.      Belajar secara signifikan (Significant learning)
Rogers telahmengidentifikasikan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan peserta didik. Contoh dari belajar ini sulit untuk ditemukan pikiran peserta didik yang belajar dengan cepat untuk menggunakan komputer komputer agar bisa menikmati permainan, tau peserta didik yang cepat belajar untuk menghitung uang kembaliannya ketika membeli sesuatu. Kedua contoh tadi mnunjukan bahwa belajar mempunyai tujuan dan kenyataannya dimotivasi oleh kebutuhan untuk tahu.
c.       Belajar tanpa ancaman (learning without threat)
Dalam prinsip ini adalah belajar yang baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika peserta didik dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.

d.      Belajar atas inisiatif sendiri (self- initiated learning)
Belajar inisiatif ini adalah mengajar peserta didik untuk mandiri dan percaya diri. Ketika peserta didik belajar atas inisiatifnya, mereka mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan, pemilihan dan penilaian. Peserta didik akan merasa dirinya lebih terlibat dalam belajar, lebih menyukai prestasi, dan paling penting lebih dimotifasi untuk terus belajar.
e.       Belajar dan berubah (kearning and change)
Prinsip yang terakhir ini adalah belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses. Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan. Belajar seperti waktu yang lalu tidak cukup lama untuk memungkinkan sesseorang akan sukses dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang, menurut rogers, adalah individu yang mampu belajar dalm lingkungan yang berubah.[17]

C.      Aplikasi teori humanistik dalam proses pembelajaran
Dibandingkan dengan bidang pendidikan, teori humanistik ini lebih dekat dengan pembahasan filsafat teori kepribadian dan psikoterapi karena dianggap sulit untuk diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Akan tetapi karena konsepnya yang ideal yaitu memanusiakan manusia, maka teori ini mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran tersebut, yaitu terbentuknya manusia yang ideal.
Dalam pembelajaran humanistik guru atau pendidik berperan sebagai fasilitator dan motivator bagi peserta didik untuk mencapai tujuannya. Sedangkan peserta didik berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya yang bersifat positif dan meminimalisir potensi diri yang bersifat negatif.
Dalam praktek pembelajaran, teori humanistik cenderung mengarahkan peserta didik untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman dan membutuhkan keaktifan peserta didik itu sendiri dalam proses belajar. Sedangkan tujuan pembelajaran humanistik lebih kepada proses belajar daripada hasil belajar.
Menurut teori humanistik, pendidik yang baik dan ideal adalah orang yang mampu berinteraksi dengan peserta didiknya dengan mudah dan menyenangkan seperti humoris, menarik, demokratis, sabar, mampu memahami perasaan peserta didik, serta peka terhadap perubahan yang terjadi.
C.Asri Budiningsih dalam bukunya “belajar dan pembelajaran” menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran menggunakan teori humanistik, namun langkah-langkah yang dikemukakan Suciati dan Prasetya Irawan dapat dijadikan sebagai pedoman.[18] Langkah-langkah tersebut diantaranya:
1.        Menentukan atau merumuskan tujuan pembelajaran, tujuan belajar yang jelas akan mempermudah pendidik dalam proses pembelajaran.
2.        Menentukan materi pelajaran, dengan begitu proses pembelajaran akan lebih terarah dan dapat diketahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.
3.        Mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik, dengan langkah ini pendidik akan lebih mudah menyampaikan materi pelajaran karena sudah mengetahui kemampuan awal dari masing-masing individu peserta didik.
4.        Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar, dengan memilih beberapa topik yang menarik didiskusikan bisa membuat peserta didik aktif
5.        Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
6.        Membimbing peserta didik belajar secara aktif, peserta didik didorong untuk dapat mengemukakan pendapatnya
7.        Membimbing peserta didik untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
8.        membimbing peserta didik membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya
9.        Membimbing peserta didik dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
10.    Mengevaluasi proses dan hasil belajar, evaluasi dilakukan secara individu sesuai dengan perolehan prestasi peserta didik.
Pembelajaran humanistik lebih cocok diterapkan pada pelajaran yang bersifat pembentukan pribadi, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.[19] Ciri-ciri pembelajaran dengan teori humanistik ini berhasil adalah bisa dilihat dari peserta didik yang merasa senang dan bersemangat dalam belajar dan terjadi perubahan baik sikap maupun  pola pikir mereka atas kehendak mereka sendiri.

 

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang teori humanistik diatas, sebagai akhir dari makalah ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.        Teori humanistik menyatakan bahwa tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Teori ini bersifat eklektik yaitu memperbolehkan seseorang sebagai pendidik untuk menggunakan berbagai macam teori belajar asalkan tujuan “memanusiakan manusia” tercapai. Tujuan pendidik humanistik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki mereka.
2.        Beberapa tokoh yang berpengaruh dalam pembelajaran menggunakan teori humanistik diantaranya:
a.       Kolb, yang terkenal dengan konsep empat tahap belajarnya, yaitu pengalaman konkret, aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
b.      Hubermas, dikenal sebagai tokoh humanistik yang membedakan tipe belajar seseorang menjadi tiga macam yaitu belajar teknis, praktek, dan emansipatoris.
c.       Honey dan Mumfrod, menggolongkan tipe peserta didik menjadi empat macam yaitu aktivis, reflektor, teoris dan pragmatis.
d.      Bloom dan Karthwool, dikenal dengan “taksonomi Bloom”nya, yang meliputi ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.
e.       Combs, menurutnya untuk dapat memahami tingkah laku manusia, hal terpenting yaitu mengerti bagaimana dunia ini dilihat dari sudut pandangnya.
f.       Maslow, mengemukakan bahwa seseorang berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang  bersifat  hirarkis.  Teorinya yang sangat terkenal yaitu teori tentang  Hierarchy of Needs  (Hierarki Kebutuhan).
g.      Rogers, dalam dunia belajar ia membedakan dua tipe belajar, yakni  kognitif (kebermaknaan) dan  experiential  (pengalaman atau signifikansi).
3.        Aplikasi teori humanistik dalam proses pembelajaran adalah: a) guru bertindak sebagai fasilitator, b)cenderung mendorong peserta didik untuk berpikir induktif, c) lebih mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran.

15
 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih, C. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Baharuddin dan Moh.Sakin. 2011. Pendidikan Humanistik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Koeswara, E. 1991. Teori teori kepribadian. Bandung: Erosco.
Putrayasa, Ida Bagus. 2013. Landasan Pembelajaran. Bali: Undiksha Press.
Sriyanti, Lilik, dkk. 2013. Teori Teori Belajar. Salatiga : STAIN Press.

16
 
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan. 2007. Teori kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.



[1]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 8.
[2]Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran (Bali: Undiksha Press, 2013), 96.
[3]Baharuddin dan Moh.Sakin, Pendidikan Humanistik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 22.
[4]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran, 70.
[5]Ibid; 68.
[6]Ibid; 70.
[7]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran, 73.
[8]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran, 71.
[9]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran, 74.
[10]Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran, 97.
[11]E. Koeswara, Teori teori kepribadian (Bandung: Erosco, 1991), 118.
[12]Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2009), 183.
[13]Lilik Sriyanti, dkk, teori Teori Belajar (Salatiga : STAIN press, 2013), 92-93.
[14]Ibid; 97.
[15]Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Teori kepribadian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 142-143.
[16]Lilik, Teori teori belajar, 101.
[17]Sri Esti, Psikologi Pendidikan, 186.
[18]Asri Budiningsih,C, Belajar dan Pembelajaran, 77.
[19]Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran, 105.

0 komentar:

Posting Komentar